Tuesday, May 01, 2001

Pagar Api


DESAIN suratkabar selalu ada filsafatnya. Suratkabar misalnya, tak dianjurkan melulu berhalaman yang berisikan huruf. Ini membuat pembaca cepat bosan dan matanya lelah. Desain suratkabar juga memerlukan garis tipis untuk memisahkan iklan dan berita. Garis ini adalah lambang pagar api atau fire wall, yang mencerminkan prinsip antara berita dengan iklan harus tegas dipisahkan. Iklan adalah iklan. Berita adalah berita.

Cover Pantau oleh
Wara Anindyah
Perhatikan, misalnya, harian Financial Times, International Herald Tribune, The New York Times, atau Wall Street Journal. Mereka selalu menorehkan garis tipis dengan rapi untuk memisahkan iklan dengan berita. Di Asia, tengok saja harian Bangkok Post, Asahi Shimbun (Tokyo), atau South China Morning Post (Hong Kong). Mereka dengan rajin setiap hari membubuhkan garis tipis. Majalah macam Far Eastern Economic Review maupun Asiaweek juga menghormati garis sakral ini.

Bandingkan dengan Kompas, Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, The Jakarta Post, atau harian daerah macam Suara Merdeka (Semarang), Jawa Pos (Surabaya), dan Singgalang (Padang). Ternyata rombongan suratkabar ini tak memiliki garis lambang pagar api.

Bill Kovach, wartawan veteran harian The New York Times dan kurator The Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard, Amerika Serikat, mengatakan pagar api hukumnya wajib bagi setiap media massa. Setiap suratkabar seyogyanya mencetak garis tipis tersebut. "Tak perlu dipertanyakan lagi," kata Kovach.

Harold Ross, redaktur majalah The New Yorker, menganggap sedemikian sakral pagar api itu sampai-sampai ruang redaksi dan pemasarannya pun dipisahkan. Ruang redaksi di lantai yang berbeda dengan ruang iklan dan distribusi. Ross bahkan tak menganjurkan para wartawannya banyak bicara dengan orang pemasaran. Ia khawatir obrolan itu akan mempengaruhi cara pandang si wartawan.

Tak jelas mengapa suratkabar Indonesia tak biasa mencantumkan garis tipis itu. Mungkin ada redaktur yang berpendapat toh hanya lambang. Tidakkah lebih penting substansinya? Yang lain berpendapat hanya menambah pekerjaan, ongkos produksi, dan makan waktu. Mungkin juga alasan sejarah. Suratkabar Indonesia lebih merupakan alat perjuangan melawan kekuasaan ketimbang medium berita yang dikelola dengan profesional.

Kini zaman berubah. Wartawan sekarang bisa bekerja lebih bebas, tanpa takut sensor atau bredel. Keleluasaan itu seyogyanya ditanggapi pula dengan cara kerja yang lebih baik, lebih etis, dan lebih disiplin dalam memisahkan berita dan iklan. Apalagi tekanan pasar makin meningkat. Kompetisi berebut kue iklan juga makin ketat. Persaingan ini seringkali membuat para redaktur lupa bahwa berita mereka bukan "berita pesanan" terutama karena dana atau kompensasi apapun dari pemesan.

Suratkabar Indonesia makin hari makin memperlihatkan campurnya berita dan iklan. Ada harian terkemuka Jakarta yang menciptakan rubrik foto upacara, kegiatan hotel, kegiatan sosial, pameran, peresmian ini dan itu, setiap Rabu dan Minggu dengan penampilan berita. Padahal rubrik ini sepenuhnya iklan. Ada juga mingguan terkemuka yang beberapa minggu lalu menurunkan berita perjalanan dengan kapal mewah, saat si wartawan sepenuhnya disponsori si empunya bisnis pariwisata, dan laporannya muncul sebagai berita. Lengkap dengan foto-foto yang disediakan pihak sponsor.

Untuk majalah perempuan jangan ditanya, dari iklan minyak wangi hingga mode pakaian, banyak yang dibiayai industri kecantikan. Kini advertorial tidak pernah dipermasalahkan lagi. Makin banyak suratkabar Indonesia yang membuat advertorial dengan wajah sama dengan berita. Advertorial, sekadar mengingatkan, adalah gabungan dua kata: advertisement dan editorial.

Pagar api mengingatkan bahwa orang advertisement tak boleh ikut campur urusan editorial. Sebaliknya redaktur dan wartawan juga tak usah ikut campur urusan iklan. Pagar ini sebenarnya memudahkan kerja jurnalisme. Bagian iklan tak direpoti kerewelan wartawan. Sementara para wartawan juga tahu bahwa ia benar-benar menulis berita.

Apa risiko pelanggaran pagar api? Jawabnya bisa bermacam-macam, dari yang sederhana hingga yang serius. Yang jelas kepercayaan pembaca terhadap suratkabar bersangkutan bakal digerogoti. Mungkin pelan, mungkin cepat.

Paralel dengan dilanggarnya pagar api adalah dilanggarnya pemisahan peranan masing-masing golongan dalam masyarakat. Kalau meminjam ajaran Hindu, seorang birokrat dianjurkan tak berdagang. Seorang pedagang sebaliknya tak usah sok intelektual. Tentara jangan ikut mengatur perdagangan. Kalau batas-batas itu dilanggar, etika masyarakat compang-camping. Buktinya ya rezim Orde Baru. Tentara kok merangkap pedagang! Sistem sosial, politik, dan ekonomi Indonesia terbukti rapuh ketika dihantam krisis ekonomi 1997-1998.

Kini, Indonesia menghadapi macam-macam persoalan yang tak mudah dicarikan jalan keluarnya. Mulai dari sistem perbankan yang keropos hingga utang luar negeri yang bertumpuk. Mulai separatisme hingga pertikaian antaragama, suku, hingga ideologi. Di Aceh, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Isu keadilan, baik dan jahat, dosa masa lalu, harapan masa depan, semua ibarat ombak lautan, datang menerpa, tiap saat memenuhi halaman-halaman koran Indonesia.

Justru dalam situasi sulit macam inilah, media diuji untuk menunjukkan kemampuan menyediakan informasi yang akurat, jujur, dan fair kepada para pembaca. Media yang baik bakal membantu pembacanya mengambil keputusan yang tepat dalam situasi sulit. Dan suratkabar terbukti kebesarannya ketika mampu melalui masa-masa sulit di tengah para pembacanya. Mereka melewatinya dengan anggun, jujur, dan menghormati prinsip pagar api.

Kami berpendapat sudah saatnya suratkabar Indonesia menorehkan garis tipis lambang pagar api. Pagar api ini akan mengingatkan pembaca bahwa suratkabar mereka bukan berisi "berita pesanan." Wartawan tiap hari juga diingatkan mereka tak boleh menulis berita pesanan. Pagar api inilah salah satu cerminan filsafat dasar jurnalisme.


* Karya Andreas Harsono namun dimuat anonim dalam Editorial majalah Pantau, Mei 2001

No comments: