Friday, February 25, 2005

Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris


Untuk Fauzul Muhammad,

Ini pertanyaan gampang-gampang sulit. Bagaimana cara belajar menulis dalam bahasa Inggris? Saya bukan guru bahasa Inggris. Tapi saya bisa cerita tentang bagaimana saya sendiri belajar menulis dalam bahasa Inggris?

Saya punya rahasia. Bekerjalah di harian The Jakarta Post! Saya tak bisa menulis Inggris sampai saya masuk ke sana pada 1993.

Terima kasih untuk Endy Bayuni, Hartoyo Pratignyo, Margaret Rose Agusta, Oei Eng Goan, Thayeb Sabil dan Vincent Lingga. Mereka mengajar saya menulis berita dengan struktur piramida terbalik dalam bahasa Inggris. Ini langkah pertama. Menulis dalam piramida terbalik.

Mula-mula sulit tapi lama-lama biasa juga. Pak Eng Goan mengajari style. Mas Endy memberitahu saya Thesaurus sehingga spelling bisa kita cek lewat komputer (Bahasa Indonesia nggak punya khan?).

Lalu setahun di sana, pindah ke harian The Nation di Bangkok. Lebih banyak menulis feature. Itu pertama kali saya sadar bahwa standar jurnalisme di sana beda dengan di sini. Mereka pakai byline, pakai firewall, mempekerjakan kolumnis dan sebagainya. Ini praktek yang tak ada dalam jurnalisme ala Palmerah hingga Kebon Jeruk.

Belakangan baru sadar standar di media Palmerah, termasuk harian Kompas, Media Indonesia, Tempo, Gatra dan rombongannya, termasuk ketinggalan banget dari rekan mereka di Bangkok atau Hong Kong.

The Nation belakangan menunjuk saya jadi kolumnis. Digaji tiap bulan. Lumayan gajinya dalam dollar Amerika. Bisa buat menabung. Apalagi saat krisis moneter. Satu dollar pernah jadi Rp 23,000.

Tahun 1996, tiap minggu menulis kolom di halaman editorial. Mereka memberi kesempatan saya menulis panjang, satu halaman penuh, terkadang lebih. Mewah banget bukan? Umur saya baru 31 tahun.

Di sana saya melatih diri menulis esai, sebaik-baiknya. Mulai dari soal skandal bisnis emas Busang, Timor Lorosae, Aceh, Partai Rakyat Demokratik, Sri Bintang Pamungkas, Aung San Suu Kyi, kebrutalan tentara Indonesia dan sebagainya. Saya juga boleh menulis untuk media lain asal bukan saingan The Nation --misalnya The Bangkok Post.

Maka saya menulis untuk The American Reporter secara gratisan. Saya suka karena The American Reporter mencoba jadi media alternatif di Amerika Serikat. Saya dibayar kalau berita dipakai media lain. Joe Shea, editor disana, banyak membantu meningkatkan mutu reportase saya. Dia juga mengomel kalau salah grammar.

Sebagai kolumnis, saya melatih diri berargumentasi, mencoba menyakinkan orang yang tak setuju dengan saya, agar mengerti isu yang saya kemukakan. Setidaknya, mereka setuju dengan metode analisisnya. Saya banyak belajar bagaimana menulis opini dari situs web Pulitzer Prize. Disitu banyak contoh. Saya menggunakan kata-kata sederhana saja. Kalau kesulitan, saya mencari kamus atau menelepon teman yang native speaker.

Ketika dapat beasiswa dan belajar di Universitas Harvard, barulah saya mengerti ada struktur yang lebih rumit lagi: NARASI.

Kerennya, disebut "jurnalisme sastrawi." Anda menyebutnya "penulisan kreatif." Saya lebih suka nama "narasi" tapi nama "jurnalisme sastrawi" lebih populer. Padahal salah kaprah sering muncul. Dikiranya, ini penulisan fakta yang mendayu-dayu dan puitis.

Bill Kovach, guru saya di Harvard, mendorong saya belajar narasi. Kovach juga mententir harus baca buku apa? Tiap minggu ia cek. Sudah selesai? Kalau sudah, ia beri judul lagi. Black Hawk Down. Philadelphia Aurora. The New York Times. CBS. The New Yorker, Scotty Reston, Harold Ross, David Halberstam dan sebagainya.

Pulang dari Boston, menulis untuk media internasional secara freelance, sambil menyunting majalah Pantau. Inilah periode ketika saya benar-benar belajar dan berlatih bersama rekan-rekan Pantau lainnya: Agus Sopian, Agus Sudibyo, Alfian Hamzah, Budiman S. Hartojo, Budi Setiyono, Chik Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, Hamid Basyaib, Helena Rea, Heru Widhi Handayani, Indarwati Aminuddin, Irawan Saptono, Ni Luh Sekar, Linda Christanty, Max Wangkar, Sirikit Syah, Veven Sp. Wardhana dan masih banyak lainnya (sorry rek nek ono sing lali).

Sambil menulis dalam Bahasa Indonesia, saya juga membandingkannya dengan bahasa Inggris. Saya sendiri nggak punya bahasa ibu yang official. Saya lahir di Jember, satu kota tembakau di Jawa Timur. Nama pemberian orang tua saya, "Ong Tjie Liang," tapi oleh rezim Orde Baru, kami dipaksa ganti jadi nama "Indonesia." Nama "Ong Tjie Liang" dianggap "bukan Indonesia," dianggap belum membaur. Papa orang Hokkian. Mama orang Hakka. Di jalanan, kami memanggil satu dengan lainnya dengan "lu" dan "gua." Tapi nenek kecil orang Jawa asal Tuntang, Malang. Saya memanggilnya "kima."

Jadi saya besar dengan budaya campuran. Besar dengan Man Tuka yang Madura. Mbek Wie yang Madura. Pak Tie yang Jawa. Masa kecil yang menggembirakan. Omong Madura, Jawa, Melayu, Hokkian.

Enak. Gado-gado. Kamsia. Kulo nuwun. Sampeyan. Kebacut. Selangkong. Dan (maaf) Diancuk.

(Kata terakhir itu difamilierken lagi ke kuping saya oleh Alfian Hamzah dalam "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan." Alfian sendiri belajar dari anggota-anggota Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha Kediri yang bertugas di Aceh Barat pada 2002).

Ketika kecil, juga ada bahasa Indonesia ala TVRI dan RRI --yang rasanya keriting di kuping tapi mereka bilang inilah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika duduk di bangku SMPK Maria Fatimah Jember, belajar bahasa Inggris dengan Pak Hur, guru bahasa Inggris disana. Saya paling muda sekelas.

Ketika masuk SMAK St. Albertus Malang, ambil kursus bahasa Inggris privat, di rumah seorang dosen IKIP Malang. Bahkan sudah lupa namanya. Tante itu baik sekali. Lalu sempat les bahasa Jerman di satu pusat kursus di Malang. Juga lupa namanya. Cuma ingat, "Ich liebe dich." Tapi punya temen-temen yang hebat, yang mengajar saya untuk belajar apa saja untuk maju. Pastor kepala sekolah kami, Pater E. Siswanto, juga orang liberal yang berpikir terbuka. Hidupnya penuh tragedi tapi ia mendidik kami dengan terbuka. Keluarganya mati dibunuh perampok.

Masuk kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, daerah pekat Jawa-Mataram, yang makanannya terasa berlebihan manis untuk lidah Jember saya. Logat Jawatimuran dianggap kasar. Apalagi omong kata, "Diancuk." Padahal di Malang dan Jember, "diancuk" adalah bumbu omongan perkoncoan. Nggak apa-apa. Belajar Kromo Inggil untuk pergaulan. Orang Cina, to be politically correct, orang Tionghoa, disana juga alus-alus Kromo Inggil.

Di Salatiga, juga kerja sebagai aktivis grassroot (ceile!) dengan para sais dokar. Tiap hari ada di terminal dokar Margosari. Orang-orang Jawa tapi "ngoko." Komboran. Jaran. Suket. Maka mulailah saya dikenal sebagai "Mas Andreas" oleh Pak Achmadi, Mas Sukardi, Mas Slamet, Bu Endang, Mas Wagimin dan sebagainya. Lalu sempat mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak mereka, dan dipanggil, "Oom Andreas."

Lulus kuliah, saya bekerja di Phonm Penh. Bicara bahasa Inggris tapi sempat ambil kursus bahasa Khmer, sehingga bisa bilang, "Cum riep sak sabai?" Artinya, "How are you?" atau "Are you okay?" Lalu tukang masak di rumah indekost, sering mengajar kalimat, "Rom Khmer Grohom." Artinya, "Crush the Khmer Rouge." Serem. Hi. Orang Khmer masih trauma dengan "Killing Fields" ala Khmer Rouge. Bahkan koki di rumah tak suka dengan Khmer Grohom.

Saya belajar dengan sering switching bahasa. Logika, sering bolak-balik antara logika Melayu, Madura, Jawa dan Inggris. Kalau berhitung dalam hati, saya menggunakan Mandarin, "Ik, ol, san, tse, u, liok ...." Suka sekali main-main dengan kosakata. Adam Ellick, rekan dari Fulbright yang kebetulan sering main ke Pantau, mengatakan pemakaian kata Melayu dalam karya bahasa Inggris saya, membuatnya jadi kenal kalau ini karya saya. Suatu saat, Adam ketemu suatu karya soal bajak laut di Batam. Ia merasa akrab dengan gaya itu. Tapi tak ada byline. Ia menduga karya saya. Ternyata benar.

Saya cinta dengan bahasa-bahasa. Goenawan Mohamad, mentor saya di Institut Studi Arus Informasi, mengatakan saya punya bakat di bidang bahasa. Saya tak tahu. Saya hanya tahu imajinasi bahasa melampaui khayalan saya sendiri. Kita tak pernah tahu batas dari kata-kata kita sendiri. Terkadang satu pokok pikiran saya tuangkan dalam dua bahasa dengan khayalan atas dua audiens yang berbeda. Menulis khan soal khayalan tentang audiens bukan?

Jadi bagaimana resepnya? Belajarlah. Mulai sekarang juga. Seraplah sebanyak mungkin bahasa. Bukan hanya bahasa Indonesia. Tapi semuanya. Ia akan memperkaya nalar dan komparasi berbahasa Anda. Ia akan membuat jarak bahasa jadi sempit, bahkan mesra. Grammar hanya soal logika. Belajarlah mula-mula dengan piramida terbalik. Lalu feature dan analisis. Lalu narasi.

Mudah-mudahan cerita ini membantu Anda. Mohon maaf, ini bukan jawaban seorang guru bahasa Inggris. Tapi seorang wartawan. Terima kasih dan selamat belajar.

Andreas Harsono


Related Stories
Draft Buku untuk Ford Foundation
Saya mempersiapkan satu kisah perjalanan, dari Sabang ke Merauke, dari Miangas ke Ndana, dalam bahasa Inggris. Saya bikin sederhana agar orang bisa belajar dari isinya maupun caranya.

Kursus Menulis Bahasa Inggris
Saya coba mengajak Max Lane, penterjemah novel Pramoedya Ananta Toer, mengajar menulis dalam bahasa Inggris. Max Lane warga Australia.


----- Original Message -----
From: "Fa uzul"
Sent: Thursday, February 24, 2005 5:27 AM
Subject: belajar menulis kreatif

Dengan hormat,

Saya Fauzul, mahasiswa UGM Jogja. Mengetahui reputasi Mas Andreas yang kerapkali menulis dalam bahasa Inggris, mohon informasi apakah ada situs internet dan sumber lain yang menjadi tempat mengali referensi untuk hal ini. Terutama dalam konteks keberjarakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Mengingat Mas Andreas sendiri pernah mengungkapkan di milis PANTAU-komunitas tentang lemahnya kemampuan jurnalis Indonesia. Bahkan sekadar untuk berbahasa Inggris, apalagi untuk menulis karya jurnalistik!

Demikian dahulu. Terima kasih atas perhatian dan balasannya. O ya, mohon dibalas ke

Fauzul Muhammad

41 comments:

Anonymous said...

this is definitely 1 of the most interesting posts written by indonesians i've ever read... i truly admire you. how you come so far 'n your thought about learning languages... bravo! :) best regards.

Anonymous said...

Pak Andreas, saya suka baca tulisan ini (yg lain belum saya baca) bahasanya simple, ndak sok gimana gitu.. tapi mengalir lancar dan menarik dibaca! Tulisan spt ini yg saya pengen bisa: sederhana tapi menarik! Nulis perlu bakat gak sih? Kok rasanya susah banget mau nulis :(

btw, apa ndak lebih baik commenting systemnya dibikin pop-up? biar lebih mudah ngisi komen. kan blogger.com udah ngasih fasilitasnya. sekedar saran. :)

good day!

Radite said...

soal bahasa memang menarik. tapi jangan sampe berdiri di etalase toko, menunjuk tali sepatu dan bilang, "'shoe-lace'-nya berapa, mbak?"

itulah yang terjadi pada saya. yang kurang ahli. sehingga semuanya bertumpuk di kepala *winks*

budi maryono said...

Kepadamu aku iri. Suer!

andreasharsono said...

Terima kasih untuk semua komentarnya. Saya juga bingung kalau ditanya menulis itu bakat atau bukan? Ini pertanyaan klasik. Debatnya tidak putus-putus.

Saya kira menulis ada soal bakat. Namun bakat bila tidak dipupuk, lewat pendidikan yang baik, juga tidak akan berkembang sehat. Sebaliknya, orang yang tekun belajar, juga bisa menulis walau bakatnya dipertanyakan.

Saya sering iri dengan rekan-rekan saya yang lebih jago menulis macam Linda Christanty atau Agus Sopian. Mereka sering geli kalau lihat ritual saya menulis. Ya begitulah. Kekurangan bakat ini saya imbangi dengan bekerja lebih keras.

ambaradventure said...

proses panjang Oom Andreas, ijinkan saya belajar dari anda

Anonymous said...

menulis adalah sebuah proses berlatih tanpa henti. saya sendiri masih terus belajar menulis...

Anonymous said...

Selamat malam Pak Andreas,
Saya suka sekali membaca tapi kalau disuruh menulis, saya bingung harus memulai dari mana, apa yg mau saya tulis.
Sebaiknya saya mulai dari mana ya? Menulis diary? terlalu ABG rasanya. Membaca kutipan dari Pramoedya Ananta Toer di halaman depan web ini, saya jadi ingin menulis :)

Anonymous said...

Pak Andreas, saya setuju bahwa "menulis adalah khayalan tentang audiens". Banyak orang berbakat menulis tetapi sayangnya mereka hanya menulis untuk diri mereka sendiri, bukan untuk orang lain. Terima kasih, tulisan ini menjadi motivator untuk saya.

andreasharsono said...

Untuk Ambar, Kere Kemplu, Maria Asten dan Gan-gan,

Terima kasih untuk komentarnya. Saya senang kalau esai ini dianggap ada gunanya. Saya sendiri merasa masih terus belajar. Makin belajar makin merasa kurang tahu. Merasa masih belum mengerti style. Tapi makin saya belajar style, makin saya merasa style saya belum ada apa-apanya. Pramoedya benar. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Ia tak pernah ada habisnya.

Pojok Hablay said...

Ada kemungkinan belajar jarak jauh? Berminat sekali, untuk berlatih, untuk belajar. Tentunya, akan selalu bikin PR

Anonymous said...

om Andreas, apakah setiap orang yang menulis berita berdasarkan fakta bisa dibilang wartawan?

andreasharsono said...

Melly,

Belajar jarak jauh selalu bisa. Namun ia sangat tergantung disiplin siswa. Ada beberapa dosen kenalan saya di Washington dan Boston, berpendapat bahwa belajar jarak jauh kurang sempurna. Kontak fisik dan komunikasi langsung jauh lebih kaya dari sekedar internet atau telepon. Memang sih lebih sempurna ketemu langsung. Tapi khan hambatannya banyak.

andreasharsono said...

Dh,

Definisi wartawan ada yang sempit dan ada yang sangat luas. Definisi sempit menyebutkan wartawan adalah orang yang mencari berita dan bekerja dalam lembaga media. Baik freelance maupun full time. Definisi yang luas menyebutkan wartawan adalah setiap orang yang menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme dalam menyampaikan informasi kepada publik. Kalau lihat dari definisi yang luas ini, saya kira, apa yang Anda pertanyakan, ya masuk dong sebagai wartawan

meds said...

Melihat Blog ini rasanya iri banget. bagaimana bisa menulis dengan bagus dan produktif, apalagi bahasa inggris.

iriiii, deh

biyan said...

Salam Mas Andreas,
Saya merasa mendapat bimbingan untuk menemukan blog sampeyan. Sebuah bimbingan atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini yaitu : bagaimana menulis yang baik dalam bahasa Ingris.
Penjelasan mas Andreas saya rasa cukup gamblang. Tapi ada satu hal lagi yang ingin saya tanya : apa itu tulisan model piramida terbalik dan contohnya seperti apa?
Nuwun lho mas dan sukses terus buat sampeyan....

andreasharsono said...

Dengan hormat,

Piramida terbalik maksudnya adalah sebuah tulisan dimana bagian yang paling penting diletakkan pada bagian paling awal. Makin ke bawah, makin kurang penting. Ini seakan-akan berbentuk piramida terbalik. Penulisan berita biasanya memakai struktur ini. Terima kasih.

Adella said...

saya suka dengan tulisan bapak, gampang untuk di mengerti dan penuh makna. sukses selalu ya..

susi

Anonymous said...

belajar menulis dari satu kata, kemudian kalimat, lalu paragraf, dan kemudian dan kemudian... inti utamanya adalah niat dan kemauan.. bukan begitu cak Andreas?

fai

lontong_sayur@yahoo.com

rimafauzi said...
This comment has been removed by the author.
Pius Marmanta said...

Salam kenal Pak.Saya punya obsesi menjadi seorang penulis juga.Semoga blog ini bisa memotivasi saya.
http://marmanta.blogspot.com/

Charlie Tj said...

Pak Andreas,

Terima kasih untuk esai yang sangat bagus ini. Walaupun saya tidak bergelut dalam bidang tulis menulis, akan tetapi untuk saya menulis sangat penting untuk membantu saya menuangkan pikiran yang ada di dalam otak dan menumbuhkan kreatifitas saya. Sayangnya hal ini baru saya sadari setelah saya bekerja di luar negeri, dimana saya menulis untuk lebih memahami bahasa inggris dengan lebih baik lagi dan membiasakan diri untuk berpikir dalam bahasa inggris. Terima kasih sudah berbagi ilmu-nya.

Gadis said...

hiksss,,,,, grammar aq ancur, pengen belajar lagi :(

Yani said...

Pak Andreas, saya mahasiswi UNAS fakultas sastra Inggris. Semester ini saya mengikuti kelas pak Oei eng goan matakuliah report writing dan writing II. Beliau benar2 dosen yang luar biasa. Padahal baru pertama kali saya mengikuti kelasnya tapi atmosfirnya langsung menyergap dan sangat termotivasi. Saya bangga ada didalamnya..

Saya menyukai cara anda menulis sejak membaca artikel anda tentang Iwan Fals di majalah Pantau.

Dengan mengikuti kelas Pak Oei saya berharap bisa menulis. Dan untuk bisa seperti anda pastinya butuh proses yang paaaannnjang dan pengalaman yang laaaama bukan?! :D

Salam.

Unknown said...

Pentingan mana, bisa nulis/ ngomongnya??

Scripta Manent Verba Volant said...

Terima kasih Mas Andreas untuk tulisan ini. Salam kenal. Saya alumni Satya Wacana juga, dari FE angkatan 2003.

Scripta Manent Verba Volant said...

Terima kasih Mas Andreas, saya suka tulisan ini. Saya juga lagi belajar. Salam kenal, saya alumni Satya Wacana juga, FE 2003

Unknown said...

Mas, it's really inspiring. :-)

Unknown said...

Pak Andreas, menyenangkan sekali bisa membaca blog ini. Tapi lebih menyenangkan lagi kalau Saya seperti Bapak yang bisa berbahasa inggris dengan baik, mendapatkan beasiswa, bekerja di Ln. Walaupun Saya menyandang nama dengan embel2 di belakangnya ada SE dan kursus pula, tapi tetap tidak bisa berbicara dan menulis dengan bahasa inggris. Ah, seandainya....

JO said...

Aduh Pak Andre. Ini pertama kalinya blog yang pernah saya baca dari koma sampai titiknya tak terlewatkan :). Makasih untuk tips dan tulisannya Pak!

Wahyu Dhyatmika said...

mas,
tulisannya saya share ke anak2 UPH yang ikut kelas newsgathering kemarin ya... Thanks alot!

admin said...

asik yach bisa menulis dengan bahasa dunia...klo sy dengan bahasa kelahiran aja kok susah ya...

mungkin memang perlu banyak belajar lg neh...:D
ajheblog.co.cc

Qudanil said...

Klo saya biasanya untuk sekarang kebanyakan memakai transtool google..:). Dan kebanyakan grammarnya salah..hehe. Terima kasih mas artikelnya bagus,,:)

Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang | morat marit | cah bagoes | oes tsetnoc

FAJRIN said...

duh,,,namanya bahasa inggris ampun dah...
saya betul2 malas belajar yang stu ne.
saya g' tau mau mulai dari mana..

Tegar Abdullah said...

Klo saya mah mending pake google trans :)

membuat blog

panduwijanarko said...

aku jember pisan, mas.
tapi menurutku akeh2 wong2 sing belajar bahasa inggris sakjane masalahe yo podho ae, mas..

akeh2 wong2 iku sakjane ngerti opo sing di karepne lawan pembicarane. tapi wong2 angel & bingung yok opo carane mbales omongane iku.

bener gak mas? hehee

Unknown said...

Wah-wah artikelnya berguna sekali mas. Trim's ya.
Salam persahabatan!

Sense of Blogging said...

kalo dipikir2 emg tak ada yg bs dplajari scr instant kecuali kalo kita emg dah terlahir di Inggis ataw amerika....

Yosafat Agus said...

Terima kasih atas artikelnya. Saya sangat kagum dengan internet, di mana kita bisa berjumpa dengan 'siapa saja' dengan 'ilmu dan pengalaman masing2'. Saya masih belajar menulis ke dalam bhs Inggris. Dulu, saya sering beli buku loakan untuk belajar, sekarang tinggal rajin-rajin download artikel di internet, dan meng-copynya. Terima kasih!

anuya said...

Mas andreas yang terhormat,.. Rasanya menarik sekali saat saya membaca pengalaman anda dalam postingan ini. Secara pribadi saya punya keinginan kuat untuk bìsa menuangkan pemikiran tertulis dalam bahasa Inggris. Mohon kiranya mas andreas mau memberikan sedikit tips yang aplikatif. Saya sudah biasa menulis dalam bahasa indonesia tanpa batas,tapi untuk menuangkan ke dalam bahasa Inggris rasanya masih ada kendala, terutama perbendaharaan kata dan grammar yang hendak dipakai. Salam dan sukses selalu

andreasharsono said...

Luna Maya,

Tips paling sederhana. Belajarlah menulis dalam bentuk piramida terbalik. You could easily write stories in inverted pyramid. It is what the Jakarta Post asked me to do.