Friday, February 25, 2005

Media Palmerah

Oleh Andreas Harsono

Arief Budiman dari Melbourne University pernah mengatakan, "Kritik itu konsultan gratis." Jadi kritik sangat berguna. Saya tak anti media Palmerah.

Saya dulu pernah ikut melawan sensor dan bredel ala Orde Baru sampai tak boleh kerja di media mana pun di Indonesia. Itu alasan saya pindah ke The Nation.

Anda tahu bukan bahwa saya dipecat dari The Jakarta Post? Alasannya, saya dituduh partisan! Wartawan nggak boleh ikut politik. "Kita harus netral," kata Raymond Toruan. Emangnya gue ikut partai politik mana? Ironisnya, orang-orang yang dulu memecat saya, belakangan dengan bangga menjodoh-jodohkan politisi dan jadi broker politik. Susanto Pudjomartono jadi dutabesar di Rusia. Toruan entah kemana. Don't get me wrong! Saya nggak punya dendam sama mereka. Saya kira pada 1994 mereka tak punya pilihan untuk tak memecat saya.

Saat itu, saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Saya jadi juru bicara AJI ketika media tak memuat satu kata pun tentang AJI (Hanya Republika pernah memuat foto saya ketika kami protes penangkapan Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo). K. Basri dari The Jakarta Post bahkan lebih gemar memuat versi polisi soal kesalahan Taufik dan kawan-kawan tanpa sekali pun tanya pada saya, juru bicara AJI, yang sekantor dengan Basri.

No hard feeling!

Pak Susanto secara bergurau pernah bilang dalam suatu forum bahwa pemecatan itu merupakan blessing in disguise! Kalau saya nggak dipecat, karir saya hari ini mungkin tetap berkubang di Palmerah.

Saya setuju pendapat Pak Susanto. Saya bisa melihat dunia setelah dipecat. Jadi, saya tak menyesal. Kita hidup punya nasib sendiri-sendiri.

Cuma saya memang kesal lihat mereka tak berbuat lebih banyak sesudah lima tahun masa demokratisasi ini. Sudah ada kemajuan tapi terlalu pelan. Lebih cepat gerak bisnis mereka daripada gerak redaksionalnya. Ini bukan keluhan saya pribadi lho!

Selama dua tahun lebih menyunting Pantau, saya sering menerima laporan kegelisahan pada wartawan, terutama redaktur yang bukan jajaran pemilik atau manajemen top, terhadap berbagai macam kebijakan boss mereka.

Ada satu kelompok media yang memangkas "chief editor" mereka yang umurnya 40 tahun ke atas. Ada yang membatasi masa jabatan "chief editor" sementara anggota komisaris atau direksi tak dibatasi. Buntutnya, bobot editorial sering kalah dengan kebutuhan bisnis. Board room, anggota-anggotanya kawakan.

News room terus diganti. News room jadi melemah. Media Palmerah pun jadi konglomerat. Maka mereka pun bergerak sesuai langkah konglomerat --harus tumbuh demi pertumbuhan itu sendiri.

Siapa yang rugi?

Saya kira warga Indonesia yang rugi. Media Palmerah ini menguasai lebih dari 90 persen konsumsi berita politik di seluruh Indonesia. Farid Gaban menganjurkan media memberitakan tuntutan GAM. "Ini harus menjadi diskursus yang lebih luas, termasuk politisi dan publik pemilih Indonesia di luar Aceh," kata Farid.

Saya pesimis. Media Palmerah itu sendiri sudah berpihak. Ia bukan pengamat yang independen.

Intinya, saya punya asumsi bahwa media Palmerah ini peninggalan Orde Baru. Semuanya gede pada zaman Orde Baru bukan? Baik Jawa Pos, Kompas, Tempo, The akarta Post apalagi RCTI, SCTV, Indosiar, TVRI, TPI. Mereka rata-rata berideologi kanan, berorientasi komersial (secara berlebihan), secara teknis belum mau pakai standar jurnalisme internasional (byline, firewall, liputan media independen, menganggap wartawan kerja produksi alias kuli, tak meliput media secara independen, nasionalisme sempit dan sebagainya).

Jangan kaget kalau budaya korupsi ini menyebar ke kalangan reporter mereka. Amplop adalah penyakit yang ditularkan dari atas. Coba deh Anda tanya pada Dahlan Iskan. Beranikah ia mendeklarasikan Kelompok Jawa Pos bebas amplop? Saya berani bertaruh tidak berani karena mereka belum sanggup membayar wartawan dengan proper.

The Jakarta Post, dengan segala hormat pada rekan-rekan saya disana, didirikan 1983 sebagai mesin propaganda Orde Baru. Jusuf Wanandi, bos besar Anda, adalah orang besar tapi ia pernah kerja untuk Operasi Khusus pada 1970-an. Ia membantu almarhum Ali Moertopo dengan politik "kupas tumpas" Orde Baru --meminjam nama "Kupas Tuntas" ala Trans TV.

Jadi, sama dengan TNI harus melakukan reformasi, saya kira, media Palmerah juga perlu reformasi. Di dalam tubuh media Palmerah, baik itu di kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia atau di board room, banyak wartawan yang dulu ikut melakukan penindasan rakyat Indonesia.

Anda bisa baca cukup banyak karya ilmiah untuk tahu bagaimana mereka ikut membenarkan pembunuhan orang kiri 1965-1967, orang Tionghoa di Kalimantan Barat 1967, politik "massa mengambang" 1970-an, Tanjung Priok 1984, Kedung Ombo 1989 dan entah apa lagi. Bahkan sesudah reformasi pun, kegamangan dan kebodohan mereka, ikut mengupas-tumpaskan orang Madura di Kalimantan, sengketa agama di Maluku, orang Acheh di Aceh dan sebagainya.

Selama setahun ini saya banyak membaca kliping-kliping lama. Ngeri deh kalau baca berita-berita mereka. Alasan bahwa mereka harus pandai salto untuk selamat bukan justifikasi untuk membenarkan ideologi yang represif. Apalagi sesudah zaman bebas.

:: ::

Catatan Editor: Tulisan ini adalah posting Andreas Harsono pada milis Pantau-Komunitas, pada Jumat, 25 Februari 2005, dengan judul email “Kumpas Tumpas Media Palmerah” yang telah dipangkas dan diedit seperlunya. Isi email adalah balasan Harsono atas dua butir pertanyaan Puji Santoso dari Pekan Baru tentang cara menulis dalam bahasa Inggris dan kritik Harsono pada “Media Palmerah.” 

Dalam kesempatan tersebut, Puji Santoso antara lain bertanya: “Panjenengan ini kok kayaknya anti sekali dengan media kelompok Palmerah, termasuk The Jakarta Post?” 

Blog kami merasa perlu menampilkannya sekadar uji kritik. Untuk lebih memahami apa yang dimaksud Harsono tentang “Media Palmerah” silakan klik di sini. Sedangkan untuk lebih memahami Kompas sebagai representasi terbesar dari “Media Palmerah” bisa dimulai dari judul-judul berikut ini: "Suryopratomo Anak Baik Bernasib Baik," "Wendo dan Tujuh Samurai," "Amanat Hati Nurani Karyawan," "Kompas Berita Kompas Iklan," "Accountability, Reward dan Byline." 

Terima kasih.

Agus Sopian

11 comments:

Anonymous said...

Saya ingin ikut nimbrung soal Andreas. Saya setuju dengan Agus Sopian soal budaya Orba yang menjangkiti banyak perusahaan media dan wartawan-wartawan di
Indonesia. Saya kira, apa yang dialami Andreas sebetulnya hampir sama dengan apa yang dialami oleh
Satrio ketika "kontraknya tidak diperpanjang oleh Harian Media Indonesia". Alasan yang dikemukakan
mungkin juga persis yaitu tidak memenuhi standar yang dibutuhkan. Tapi siapapun yang mengikuti perkembangan kasus Andreas dan Satrio tahu betul bahwa alasan itu
hanya dibuat-buat. Alasan sesungguhnya, saya kira, karena Andreas aktif di AJI dan itu mempersulit manajemen JP, dan karena Satrio memperjuangkan berdirinya Serikat Pekerja di MI.
Jadi, tidak fair kalau kita menuduh Andreas melakukan kebohongan publik.

Anonymous said...

Salam,

Saya Agus Sopian, kolega Andreas Harsono di Yayasan Pantau. Saya biasa berdiskusi, berbantah-bantahan, makan bersama dan masak bersama, dengannya.
Saya mengenal kepribadian, adat-istiadat, juga pikirannya. Saya juga tahu kisah dia "dihentikan kontraknya" oleh The Jakarta Post. Dan sejak tahu kisah ini, saya hampir tak pernah mempermasalahkan integritasnya, apalagi menganggap dia berbohong pada publik. Saya cukup tahu bagaimana politik
media dan politik bahasa Orde Baru. Pengetahuan ini saya dapatkan secara intens karena saya juga pernah jadi bagian dari Orde Baru.

Saat zaman gelap itu, saya banyak berkenalan dengan frasa-frasa yang entah datangnya dari lapisan langit ke berapa. Satu contoh, "dibunuh" sering dibahasakan dengan "disukabumikan"; "ditangkap" paralel dengan "diamankan"
(aman dengan babak-belur) atau BBM "disesuaikan" senyawa dengan BBM "dinaikkan." Di luar itu, ada banyak eufemisme yang jadi bagian saya sehari-hari. Pers, termasuk saya di dalamnya, meminjam kata-kata Dedy N. Hidayat, melalui penghalusan kata-kata macam ini, pada akhirnya menjadi "partner in progress" sekaligus menjadi sumber legitimasi bagi "istana."
Apa yang dikatakan istana, itulah yang disampaikan pers. Istana tak senang dengan seseorang, pers juga nggak bakalan senang. Cerita semacam ini banyak jumlahnya, dan itu berlangsung selama 30 tahun lebih.

Mekanisme itu bekerja secara rutin, dan bahkan masuk ke alam bawah sadar publik. Saya sepakat dengan Dedy N. Hidayat bahwa mekanisme tersebut antara lain melibatkan juga politik media dan politik bahasa yang memberi peluang
agar suatu wacana media tertentu mendominasi proses-proses mengkonstruksi berbagai realitas sosial yang berlangsung. Banyak korban berjatuhan, dan seperti biasa, pelaku yang menindas dan menghajar korban, biasanya tetap
suci. Orde Baru tetap suci dari dosa-dosanya terhadap Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, dan korban-korban lain yang lebih muda.
Orde Baru selalu punya legitimasi, lengkap dengan alasan-alasan hukumnya ketika menyalib korban.

Saya juga melihat itu pada Andreas Harsono ketika "dihentikan kontraknya" oleh The Jakarta Post dengan alasan "tak memenuhi kualifikasi tertentu." Saya mau percaya pada Satrio Arismunandar dan kawan-kawan dari AJI yang
menerima penjelasan dari The Jakarta Post. Tapi, saya juga mau percaya pada Susanto Pudjomartono yang bicara di mana-mana bahwa, "pemecatan itu merupakan blessing in disguise!" Intinya, kalau dia tak dipecat, karirnya
hari ini mungkin tetap berkubang di Palmerah.

Kami setuju dengan pendapat itu, dan karena "blessing in disguise" tadi kami dapat bersama-sama sampai kini. Terima kasih untuk Susanto Pudjomartono.

Anonymous said...

Maaf terusik. Saya biasanya kagum sama tulisan dan ketegasan sikap
pak Andreas. Tapi blunder soal statunya dan media palmerah membuat saya heran, dan menunjukan inilah tipikal "tokoh2" di Indonesia: menempatkan diri sebagai korban, demi simpati, meski harus berbohong.

Ada perbedaan mendasar antara seorang yang "dipecat" dengan "habis kontrak", apalagi "tak lulus masa percobaan". Bukan pertama kali pak andreas menyatakan dirinya wartawan yang independen tak mau dibelenggu dan melawan tempatnya bernaung, jakarta pos.

Tapi penjelasan Pak Rio menunjukan, pak Andreas bukan
dipecat, tapi memang tak lulus masa percobaan, tidak memenuhi kriteria, dan dengan demikian kontraknya habis. Apapun alasan seorang wartawan, bila merasa tak
sesuai dengan idealisme penulisan berita, seharusnya ia mengundurkan diri dan mencari media yang bisa
menyalurtkan idealismenya. Ini penting, agar tulisannya obyektif. Tapi bila seorang wartawan tak
bisa mengikuti ritme kerja medianya, sehingga tak bisa
menyesuaikan diri dengan karakter media tersebut, wajar bila masa kontraknya dihabisi. Artinya, ia tak punya kemampuan standar sesuai aturan media tersebut.

Ketika pertama kali di trening di Jakarta 4 tahun lalu, saya di ajari 3 dasar jurnalime yang paling
mendasar. Jujur, jujur dan jujur. Ini akan membuat tulisan kita mendapat apresiasi dari pembaca. Wartawan yang tidak jujur, bahkan tentang dirinya sendiri sekalipun, mudah kehilangan kredibiltas.
Atau ajaran ini salah, dan hanya berlaku untuk kami di daerah? Ah, media asing toh tak peduli. Wartawan yang bekerja untuk media asing kan paling independen,
paling demokratis, paling "membela kepentingan"... paling... ah sudah lah. paling nanti saya di cap sebagai "antek2 media palmerah...".

Budi Harsadiputra

Anonymous said...

Maaf, sedikit komentar. Seingat saya Sdr. Andreas tak pernah dipecat oleh Jakarta Post. Status beliau waktu itu adalah "wartawan
percobaan/kontrak". Karena the Jakarta Post menganggap Sdr. Andreas tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan JP, maka ia tidak diangkat sebagai wartawan tetap. Kontrak itu habis begitu saja tanpa
diperpanjang.

Waktu itu, saya bersama beberapa anggota AJI lain sudah bertemu langsung dengan pimpinan Jkt Post untuk menanyakan kasus Sdr. Andreas, dan diberi penjelasan
seperti ini. Pimpinan Jkt Post memberikan beberapa info tentang penilaian mereka terhadap isi tulisan Sdr. Andreas. Intinya, waktu itu kawan-kawan AJI bisa
dibilang "bisa menerima" penjelasan tsb.

Satrio Arismunandar

Anonymous said...

saya tidak kenal pada saudara Andreas, namun saya ikut senang, kalau pemecatan itu akhirnya berujung pada kebahagiaan dan kesuksesan anda semua. Namun, bukan
itu poin nya.

Sama seperti terminologi yang biasa dipakai orde baru, media saat ini juga punya kecenderungan yang sama: berusaha menampilkan diri sebagai korban. kalau di masa lalu pernah "disakiti", dengan expose media seakan seorang, bahkan penjahat, bisa menjadi
pahlawan.

Seorang yang jujur tentu akan berkata: saya bekas pejabat orde baru, saya buat banyak kesalahan namun saya siap memperbaikinya. Namun seoarng yang tidak jujur akan berkata, saya dulu dijegal dan makanya tak bisa jadi menteri. Kesalahan ditimpakan pada kondisi,
dan menutipinya dengan kata-kata hiperbola: Dijegal.

Lalu apa bedanya dengan: diberhentikan, dipecat, dengan habis masa kontrak? Tentu kalau dkejadiannya di masa orde baru, kalau bilang habis masa kontrak, ya
tak menngigit. tapi kalo disebut Dipecat, wah korban orde baru nih.

beruntung saya tidak menjadi wartawan di era yang sama dengan anda-anda, karena di jaman saya saat ini, kami dituntut untuk jujur, atau ditelanjangi pembaca. jadi tidak perlu mengekspose diri untuk mencari simpati, itulah blessing buat wartawan2 baru, rookie, yang suka dipandang rendah sama para senior yang katanya para
"korban orde baru".

Saya hanya ingin membuka hati, bukankah kita semua makin banyak berbohong pasca orde baru ini? nah kalau wartawan berbohong, maka seumur-umur bangsa ini akan terbiasa dengan kebohongan.

Budi Harsadiputra

Anonymous said...

Rekan-rekan,

Sebetulnya respons saya yang pertama lebih pada menyikapi ketidakakuratan Andreas dalam menyampaikan kasus/status dirinya. Jadi, tak perlu dilebarkan ke mana-mana. Andreas menyebut diri "dipecat," dan itu tidak benar karena Andreas tidak pernah menjadi karyawan tetap dengan status wartawan di The Jakarta
Post.

(Silahkan cek sendiri ke Sekretariat Redaksi, Bagian
Personalia ataupun bagian Keuangan The Jakarta Post, apakah pernah tercatat nama Andreas Harsono sebagai wartawan dengan status karyawan tetap di sana. Jawabannya singkat, jelas dan lugas: TIDAK PERNAH.

Yang mungkin tercatat adalah nama Andreas, ketika menjalani masa percobaan sebagai calon wartawan).

"Dipecat" itu artinya sudah menjadi wartawan tetap, lalu diberhentikan. Tetapi kalau seseorang menjalani "masa percobaan" (baca: kontrak) sebagai calon wartawan The Jakarta Post, lalu kontraknya habis dan tidak diperpanjang (dan juga tidak diangkat sebagai wartawan tetap, karena dianggap tak memenuhi
kualifikasi), itu tak tepat menggunakan istilah "dipecat." Kalau sejak awal Andreas tidak menggunakan istilah "dipecat," saya tidak akan memberi respons
ini.

(Soal alasan dibalik tidak diperpanjangnya kontrak Andreas itu, bisa diperdebatkan. Yang jelas, pimpinan JP punya alasan yang jelas dan profesional, dan waktu itu bisa diterima oleh tim pencari fakta AJI, yang tak akan saya sebutkan di sini. Jangan lupa, tim AJI ini militan dan punya solidaritas tinggi terhadap sesama AJI. Jika tak ada alasan kuat, tak mungkin tim AJI menerima begitu saja penjelasan pimpinan JP soal argumen tidak diangkatnya Andreas sebagai wartawan tetap, dan berakhirnya kontrak Andreas).

Saya pribadi TIDAK pernah menyebut diri atau mengklaim dipecat dari Kompas ataupun Media Indonesia. Karena saya tahu, istilah itu tidak tepat dan tidak akurat.
Dalam kasus di Kompas (saya sudah jadi wartawan tetap sejak 1989), saya didesak/ditekan untuk mundur pada 1995 karena terlibat di AJI dan SBSI.

Penyebab/alasan ini bukan dugaan atau prakiraan, karena dinyatakan sendiri oleh pimpinan Kompas pada
saya secara langsung. Saya memilih mundur dengan pesangon (kalau saya dipecat, pasti ada konsekuensi
hukum yang rumit, karena harus ada ijin dari Deonaker, dst...).

Dalam kasus Media Indonesia, saya statusnya kontrak (tetapi dikontrak sebagai wartawan, dan dijanjikan akan diangkat sebagai Redaktur Iptek jika jadi diangkat nanti). Karena kasus Serikat Pekerja (ini jelas, dalam pembicaraan langsung, bukan
tebak-tebakan) maka kontrak saya tidak diperpanjang. Meski seharusnya saya sebagai karyawan kontrak tidak berhak atas pesangon, toh saya tetap diberi pesangon 3 bulan gaji!

Perdebatan panjang lebar ini bermula dari ketidakakuratan (sehingga menimbulkan kecurigaan,
bahwa Andreas sengaja memlintir fakta dengan berlindung di balik permainan kata, untuk memberi kesan heroik untuk dirinya sendiri).

Saran saya kepada Andreas sebagai teman, supaya Andreas hati-hati memilih istilah. Misalnya, sebutan
"media Palmerah" yang dipaksakan oleh Andreas untuk media mainstream Indonesia, jelas tidak tepat. Istilah "Palmerah" itu --dalam konteks pers Indonesia--identik dengan kelompok Kompas-Gramedia (+ The Jakarta Post?).
Sangat tidak fair dan bias, jika sebutan "media Palmerah" itu dipaksakan.

Apakah Anda pikir teman-teman wartawan di KKG dan The Jakarta Post merasa senang, karena Andreas jika sedang membahas media mainstream dengan nada yang negatif, selalu disebut dengan "media Palmerah!"

Kalau orang luar negeri punya Times Square dan kantor-kantor medianya mengumpul di satu lokasi,
biarlah saja karena kondisi mereka memang demikian. Jangan paksakan Indonesia harus punya "media
Palmerah", karena lokasi kantor-kantor media di Jakarta ini terpencar-pencar jauh, tidak mengumpul di kawasan Palmerah. Yang mengumpul di Palmerah cuma Grup KKG dan The Jakarta Post. Kasihanilah mereka Andreas!

Satrio Arismunandar
(Salah satu anggota tim pencari fakta AJI dalam pertemuan dengan pimpinjan The Jakarta Post membahas kasus Andreas)

Anonymous said...

ga usah muna deh, media itu perusahaan dan perusahaan adalah soal dagang. itu butuh trik. masyarakat kita cenderung mo berpihak pada korban (kan sodara-sodara sendiri yang pada nulis itu di media masing-masing) soal aceh selama tsunami, saya khawatir dan bingung, apa kompas sudah jadi koran tentara? soalnya beritanya soal tentara terus. mana isunya
sering telat lagi tabik

Kris RM

Anonymous said...

hmmm, jadi menarik juga topik ini. Kata dipecat, habis kontrak, tidak memenuhi kualifikasi dll.

Saya jadi ingat pengalaman saya dua tahun yang lalu. Saat saya punya kesempatan jadi asisten dan mengajar di Universitas Islam Riau (UIR). Saya hanya mengajar satu semester.

Kebetulan karena saya sedikit disukai, banyak mahasiswa yang bertanya mengapa saya tidak mengajar lagi.

"Lalu saya menjawab saya dipecat"

Jawaban ini, kalau dipikir-pikir saya juga saya melakukan pembohongan publik. Karena saya tidak pernah dipecat. Karena saya hanyalah dosen honor yang diberi
kesempatan mengajar. Dan memang hanya sampai satu semesterlah jatah saya.

Namun bukan itu intinya, saya lebih menyukai kata dipecat, bukan karena ingin dikasihani, tapi karena malas menjelaskan panjang-panjang apa sebabnya saya tidak mengajar.

Saya juga malas bercerita dengan mahasiswa saya, kenapa saya tidak mengajar lagi. Karena kalau saya
bercerita sesungguhnya mengapa kontrak saya tidak diperpanjang, hanya akan membuat saya terlihat malang sekali.

Begitu juga mas andreas, hanya akan bilang saya dipecat, karena sulit untuk menjelaskan bagaimana
detailnya. Itu hanya bikin sakit hati.

Seperti kasus saya, kenapa kontak honor saya tidak diperpanjang? sebenarnya saya, (waktu itu berusia 23 tahun) merupakan dosen muda yang untuk dapat jadi
asisten saja rasanya sudah sangat bangga. Melihat saya punya kemampuan, PD I memberikan kesempatan bahan ajar dia untuk saya ajarkan pada sekitar 150 mahasiswa (empat kelas). saya mengajar rekayasa lingkungan
Saya bekerja dari senin - kamis. Memberikan pr, membuat mid semester dan semester serta mengoreksi dan mengawasi.

Saya menjalaninya dengan baik. Dan PD I, menjanjikan akan memberikan saya honor. Namun sampai akhir saya
mengajar dan menyerahkan nilai para mahasiswa dia menghilang.

Saya telepon, dia matikan. Saya cari di kampus hanya dijanjikan. Begitu terus selama hampir satu bulan. Pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Saya bermaksud untuk tidak memintanya, dengan harapan karena dia salah satu anak pemilik yayasan, akan dapat menjadi dosen.

Tapi, kemudian... lama-lama saya berpikir. Saya harus menghargai diri saya. Saya punya ilmu dan tenaga yang pantas dibayar. Akhirnya saya mengirim sebuah sms
singkat "Pak,kalo bapak tidak bayar honor saya, saya akan kadukan ke abang saya di bagian buser polres. Silakan kirim ke no rekening ........"

Dan, besoknya rekening saya sudah terisi dengan nilai Rp. 750.000. untuk kerja yang kurang lebih lima bulan dengan siswa yang 150 orang.

Nah, apakah ini harus saya ceritakan pada mahasiswa saya. Saya pikir, jauh lebih mudah mengatakan "saya dipecat"

Novi Yanti

Anonymous said...

Bung Budiman,

saya setuju kalau wartawan harus jujur, rendah hati dan terbuka. Di mana dan kapan pun itu.

tapi saya tetap belum mengerti mengapa media saat ini selalu menampilkan diri sebagai korban?

bukankah media sekarang menjadi 'kekuasaan' baru yang
seharusnya diawasi?

dari mana data bahwa media menempatkan diri sebagai korban?

saya melihat bahwa kesewenangan media justru tampil dengan gempita. apakah kita melihat secara jelas, bagaimana sikap gerakan acheh merdeka terhadap korban tsunami secara proporsional oleh media kita?

mengapa yang selalu ditampilkan hanya sisi pemerintah? mengapa saya tak mendapatkan informasi yang
proporsional soal gerakan acheh merdeka?

saya punya teman wartawan di banjarmasin, yang mengatakan dia menerjemahkan berita soal perang Irak dua tahun lalu, dengan menempatkan saddam husein
sebagai korban yang harus dibela. menurutnya karena di banjarmasin banyak pendukung saddam dan mayoritas beragama islam. dan berita itu dipublikasikan.

terus, apakah media masih menampilkan diri sebagai
sesuatu yang lemah dan tak berdaya?

well, with my respect to you, media has become a powerfull institution right now! no doubt!

saya pun ingin menjadi wartawan yang baik. sama seperti anda. menjadi jujur, terbuka dan rendah hati adalah kunci yang saya pegang saat ini erat-erat.

salam,

anugerah perkasa

Anonymous said...

saya tidak kenal pada saudara Andreas, namun saya ikut senang, kalau pemecatan itu akhirnya berujung pada kebahagiaan dan kesuksesan anda semua. Namun, bukan
itu poin nya.

Sama seperti terminologi yang biasa dipakai orde baru, media saat ini juga punya kecenderungan yang sama: berusaha menampilkan diri sebagai korban. kalau di masa lalu pernah "disakiti", dengan expose media seakan seorang, bahkan penjahat, bisa menjadi
pahlawan.

Seorang yang jujur tentu akan berkata: saya bekas pejabat orde baru, saya buat banyak kesalahan namun saya siap memperbaikinya. Namun seoarng yang tidak jujur akan berkata, saya dulu dijegal dan makanya tak bisa jadi menteri. Kesalahan ditimpakan pada kondisi,
dan menutipinya dengan kata-kata hiperbola: Dijegal.

Lalu apa bedanya dengan: Diberhentikan, dipecat, dengan habis masa kontrak? Tentu kalau dkejadiannya di masa orde baru, kalau bilang habis masa kontrak, ya
tak menngigit. tapi kalo disebut Dipecat, wah korban orde baru nih.

beruntung saya tidak menjadi wartawan di era yang sama dengan anda-anda, karena di jaman saya saat ini, kami dituntut untuk jujur, atau ditelanjangi pembaca. jadi tidak perlu mengekspose diri untuk mencari simpati, itulah blessing buat wartawan2 baru, rookie, yang suka dipandang rendah sama para senior yang katanya para
"korban orde baru".

Saya hanya ingin membuka hati, bukankah kita semua makin banyak berbohong pasca orde baru ini? nah kalau wartawan berbohong, maka seumur-umur bangsa ini akan terbiasa dengan kebohongan.

Budiman Harsadiputra

Anonymous said...

saya seorang mahasiswa yang ingin pandai menulis. saya tinggal di jakarta, dan saya ingin memperoleh informasi yang banyak dari bapak khususnya mengenai penulisan (kerangka)berbalik