Tuesday, May 03, 2005

Training Wartawan di Jayapura

Sejak hari Minggu, Agus Sopian, Budi Setiyono, Indarwati dan aku ada di Hotel Relat Indah, Jayapura, membantu pelatihan 28 wartawan dari Jayapura, Merauke, Manokwari, Sorong dan Timika. Kami membagi mereka dalam dua kelas. Buset dan Kang Agus pegang satu. Indar dan aku pegang satunya. 

Hari pertama, kami memperkenalkan "Sembilan Elemen Jurnalisme" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Lalu masuk dalam praktek. Mulai dari soal byline, tagline, kolom, pemakaian dialog, membuat deskripsi dan sebagainya. 

Kami mendapat sponsor dari PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang emas Amerika. Ini bukan perusahaan yang populer. Tapi Siddharta Moersjid dari Freeport berkali-kali bilang mereka "tulus" ingin melihat media di Papua maju. Ini bagian dari program community development Freeport. 

Yayasan Pantau sudah beberapa tahun dapat sponsor Freeport. Santi Sari Esayanti dari Freeport pontang-panting membantu kami. Mulai dari booking hotel, menyiapkan Infocus, mengatur mobil, mengurus keperluan peserta satu demi satu. Indar tak kalah keras. Aku suka melihat dua perempuan muda ini bekerja. Sangat efisien. 

Cunding Levi dari Tempo, Netty Dharma Somba dari The Jakarta Post, Gatot Ariobowo dari Lativi, kolumnis Frans Maniagasi, Anton Raharusun dari Freeport (juga kolumnis) dan lain-lain ikut workshop ini mulai pagi hingga sore. Lebih banyak diskusi. Lebih banyak sharing. Lebih banyak ngakak. Kami praktis kelelahan. Tak bisa berbuat lainnya selain menjadi instruktur dan istirahat. 

Kami juga diskusi soal peranan wartawan "pendatang" dan "asli." Mengapa integritas media "pendatang" kurang dipercaya warga Papua? Harian Cenderawasih Pos dianggap pro Indonesia? Para peserta didominasi wartawan pendatang --hanya tiga yang etnik Papua dari 28 peserta. 

Aku banyak bicara soal independensi seorang wartawan. Ia harus independen dari background sosial dirinya --etnik, agama, ideologi, kelas dan lain-lain-- dengan cara menjalankan prosedur jurnalisme secara disiplin. 

Ini baru selesai hari kedua. Pinjam internet di kantor Freeport di daerah Angkasapura dengan view ke Samudera Pacific serta bukit Base G. Cantik sekali. 

Jayapura berpenduduk sekitar 200,000. Kota luas walau resmi ada sekitar 900 kasus HIV/AIDS --beberapa aktivis perempuan dari Suara Perempuan Papua memperkirakan jumlah resmi enam kali lipat. Ini cukup bikin takut. 

Hari Senin 2 Mei ada demonstrasi menuntut penulisan ulang sejarah Papua. Mereka menyerang Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang penuh kecurangan (memang benar). Mereka bateriak, "Papua merdeka, Papua merdeka!" 

Seorang perempuan muda Desy, cucu Seth Rumkoren, membacakan pernyataan di depan anggota-anggota Parlemen Papua. Demonstrasi serupa, menurut beberapa wartawan, diadakan di Jakarta dan Belanda. Semua menuntut koreksi terhadap sejarah resmi bahwa rakyat Papua memilih masuk Indonesia. Maniagasi dan Cunding banyak memberikan background kepada aku. Beberapa peserta pelatihan mengajakku lihat demonstrasi ini.

   

Beberapa orang tua membawa anak-anak mereka ikut demonstrasi. Acara diisi dengan pidato-pidato. Aku senang mendengarkan bahasa Papua. Mereka pakai kata "sa" untuk "saya" atau "kitorang" untuk "kita orang." Lalu banyak kalimat Melayu diakhiri dengan akhiran "kah." 

Di Papua sendiri ada lebih dari 250 bahasa --sekaligus etnik-- sehingga bahasa nasional mereka tak lain ya bahasa Melayu versi Papua. Suasana damai. Teriakan-teriakan, "Uuuuu uuuuu uuuu ..." terkadang terdengar. 

Aku mengira ini teriakan khas orang Papua kah? Mereka sempat jalan dari Abepura menuju Jayapura. Jarak lumayan. Hampir semua peserta demonstrasi orang rambut keriting. Sempat wawancara dengan beberapa peserta demonstrasi, "Mengapa tak ada saudara-saudara rambut lurus?" 

Ada yang bilang para "pendatang" memang cenderung diam. "Ini sudah urusan politik. Bisa kitorang mengerti kalau dorang tak ikut. Tapi soal pelanggaran hak asasi manusia, dorang juga lebih banyak diam," kata lainnya. 

Aku kurang tahu berapa banyak pendatang yang ikut simpati dengan gerakan kemerdekaan Papua. Mungkin banyak. Mungkin sedikit. Cuma mereka tak kelihatan. Aku melihat demonstrasi sekitar 45 menit. Lalu kembali ke ruang kelas. 

Aku merasa lebih percaya mengapa orang Papua ingin merdeka dari Indonesia. Selasa pagi sempat berkunjung ke rumah H. Abraham Ondi di perumahan Sinode GKI di Tanah Papua. Anaknya lucu sekali. Ronaldo umur tujuh tahun. Badannya gempal. Makan nasi dua piring. Juga kenalan dengan istri Ondi. Kami teman lama sejak zaman kuliah di Salatiga pada 1980-an. Ondi kerja di gereja. Dulu ia yang mendorongku jadi wartawan mahasiswa.

   

Para peserta pelatihan mejeng di dermaga kayu di Teluk Humblot, Jayapura. Jembatan ini terletak persis di belakang hotel. Anton Raharusun (paling kanan) seorang pengacara. Ia kini bekerja untuk Freeport urusan government and legal affairs

Ia dulu pengacaranya Theys Hiyo Eluay, pemimpin bangsa Papua, yang dibunuh tentara-tentara Indonesia, pada 20 November 2001. Ia suka dengan pelatihan ini. Santi Esayanti memakai baju warna putih. Cunding Levi di belakang Santi. Sedang Jean Bisay dari Papua Pos di depan Santi.

2 comments:

Anonymous said...

Salam,

Anak-anak yang ikut demo tersebut bukan di bawa oleh orang tua mereka, tetapi mereka sendiri yang ikut bergabung.

Anak-anak tersebut tinggal di dekat kampus Uncen dan mereka sering melihat demo, ada ketertarikan mereka untuk ikut berdemo, sehingga bila ada demo mereka tidak kesekolah.

Saya sempat bertanya pada mereka dan juga mahasiswa yang demo, dan jawabannya seperti yang saya tilus di atas, mereka tidak di ajak oleh orang tua mereka dan mereka tidak di paksa untuk ikut demonstrasi tersebut.

Salam hangat dari Papua
Franky

andreasharsono said...

Dear Sahrudin,

Salam kenal juga. Saya bingung juga ditanya, "Gimana sih cara nulis yang baik, benar dan enak dibaca itu?"

Teorinya macam-macam. Menulis juga pelajaran yang berat. Dulu saya pernah kuliah dua semester di Universitas Harvard belajar menulis narasi. Setiap minggu membaca karya-karya penting. Lalu diskusi segala macam teknik dan trik. Kalau sempat, coba deh baca buku "Jurnalisme Sastrawi" yang berupa antologi. Saya co-editor buku itu.

Sederhananya, menulis yang enak dibaca adalah komunikatif. Ia macam orang bercerita saja. Ibarat, kawan lama datang bercerita.

Bagaimana cara bercerita yang baik? Mungkin itu kiat sederhananya.