Thursday, November 24, 2005

Duma dan Cahaya Bahari

Duma
 sebuah kampung kecil dan cantik. Ia terletak di tepi Danau Galela, sebelah utara Pulau Halmahera. Di sekeliling danau, pohon dan perdu tumbuh lebat, juga pohon kelapa untuk bahan kopra. 

Aku mendatangi Duma pada 22 November untuk wawancara seorang janda, Hernata Lasamahu, serta membayangkan apa yang ia ceritakan. Febbyola Lilipory, satu reporter muda dari radio SPB 103.6 FM, menemani "Kak Nata" dan aku ke Duma dari Tobelo.

Duma salah satu simbol kekristenan di utara kepulauan Maluku. Ia termasuk salah satu kampung Kristen pertama. Makam Hendrick van Dyken, pendeta Belanda yang mulai bekerja di Galela pada 1866, juga diletakkan disini. Bagaimana Van Dyken bisa tinggal dan berakar di Duma? 

Ceritanya, orang-orang sana merasa ada "hantu raksasa" tinggal di Duma. Van Dyken ditantang untuk melawan hantu itu. Ia menerima tantangan. Ia membangun rumah. Tak terjadi apa-apa. Bahkan ketika ada air naik serta hujan lebat, rumah Van Dyken selamat untuk menampung penduduk desa.

Maka nama negeri itu diganti, dari Moroduku (“tanah para raksasa”) ke "Duma" --dari frase “Duma wi doohawa.” Artinya, "Tapi dia (Van Dijken) tidak dilukai.” Van Dyken meninggal pada 1900. 

Gereja Masehi Injili di Halmahera cabang Duma, dibakar dan dirusak oleh milisi berbendera Islam, dalam communal violence yang paling buruk dalam sejarah kepulauan Maluku. 

Negeri ini diserang oleh Pasukan Jihad pada 19 Juni 2000, dua hari sesudah jemaat GMIH Nita merayakan seratus tahun meninggalnya Hendrick van Dyken.


Kuburan massal dari anggota jemaat GMIH cabang Duma, terletak di sebelah gereja. Mereka mulanya menguburkan jenasah korban terpisah-pisah. Namun belakangan mereka mengumpulkan semuanya dalam satu tempat pemakaman. Lengkap dengan nama masing-masing korban.

Hernata Lasamahu berdiri depan batu nisan suami, mertua dan anak lelakinya. Hernata bilang bahwa Josephus Lasamahu seorang suami dan bapak yang baik. Josephus asal Pulau Seram. 

Hernata mulanya bertemu dengan Josephus ketika nonton televisi di rumah tetangga. Mereka menikah pada 1990 ketika Hernata masih usia 18 tahun. Hernata suka karena Josephus orang sederhana, sudah bekerja sebagai guru. "Bapa saya guru. Sejak remaja, saya ingin pung suami juga guru," kata Hernata. Perkawinan sederhana. Mereka dikarunia tiga anak, satu putri sulung dan dua putra.

Kapal Cahaya Bahari tenggelam dengan ratusan pengungsi asal Duma. Bangkai kapal tak pernah ditemukan. Mereka bikin replika Cahaya Bahari guna mengenang korban. 

Menurut Adnan Amal dari Ternate, yang menulis buku sejarah Maluku Utara, pembantaian di Duma serta tenggelamnya Cahaya Bahari berperan besar menghentikan perang di Maluku Utara.

Makam van Dyken dan isteri juga dibongkar, tulang-belulang mereka dirampas dan dibuang entah kemana. Aku hanya lihat lubang kuburan menganga. 

Menurut Christopher Duncan dalam sebuah narasi di jurnal Indonesia, "pasukan putih" tujuannya mengambil alih Tobelo. 

Mula-mula mereka coba dari daerah Malifut, selatan Tobelo, namun tak berhasil. Maka mereka mencobanya lewat laut sebelah utara. Artinya, mereka harus menguasai Galela guna merebut Tobelo. Duma ada di Galela dan simbol kekristenan di Halmahera.

Setiap kuburan dengan lambang salib dirusak, entah sisi kiri, kanan atau apapun, asal lambang kekristenan ini cacat. Sulit mencari tahu siapa salah, siapa benar, dalam pertikaian ini. Orang Muslim juga banyak dibunuh di Galela dan Tobelo. 

Aku berharap ada peneliti atau penulis yang mau memberikan waktu guna menulis kekerasan di Halmahera. Aku bayangkan bisa satu dekade bahkan lebih guna mencari data, melakukan verifikasi, wawancara entah berapa ratus sumber, guna menulis sesuatu yang bisa jadi pelajaran buat banyak orang. 

Bahkan pembunuhan orang-orang Muslim pada Desember 1999 itu mendorong orang-orang Muslim di Pulau Jawa mendirikan Laskar Jihad dan mengirimkan "pejuang jihad" ke Maluku.

Sore berganti malam, aku menelusuri makam, makam dan makam. Aku baca tahun-tahun kelahiran mereka. Tahun kematian semuanya sama. Semua ditulis: "Martir Jemaat." 

Aku mencoba mencari tanda salib yang tidak dirusak. Tak ada satu pun utuh. Kebencian terhadap simbol kekristenan. Namun ini hanya sebuah kuburan kuno. 

Aku lihat Febbyola Lilipory tenggelam dalam pikiran sendiri. Entah apa yang dia pikirkan. 

Hernata Lasamahu permisi dan menyembunyikan tangisnya. Aku berharap yang terbaik untuk perempuan muda ini. Aku pergi ke sebuah sudut sepi. Aku merasa sedih sekali. Aku tak tahu mengapa kemanusiaan bisa diinjak begini rendah?

1 comment:

rami said...

Tulisan yang sangat menyentuh. Aku ucapkan banyak terima kasih buatmu kawan. Apa yang anda gambarkan adalah sekelumit kisah kejahatan oleh manusia atas sesamanya yang berbeda ideologi dan keyakinan dari mereka. Semoga kisah ini mengajarkan banyak hal kepada setiap pembacanya tentang arti pentingnya "mencintai sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" ...