Monday, November 14, 2005

Forum Freedom: Kebebasan Pers


Forum Freedom
Wawancara oleh Hamid Basyaib dari Freedom Institute
disiarkan lewat jaringan radio 68H


Kebebasan Pers bersama Andreas Harsono


Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia. UUD 45 pasal 28 berbunyi: “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jadi pengertiannya luas sekali. Meski begitu kita juga pernah mengalami penindasan, kecurigaan, dan alasan-alasan lain yang terlalu jelas. Intinya: pers dibungkam. Jadi isunya adalah soal kebebasan pers dan mendapatkan informasi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan pers dan mendapatkan informasi itu?

Ada sebuah pengertian di dalam ilmu politik yang menyatakan bahwa makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarakat, makin baik pula informasi yang diperoleh masyarakat yang bersangkutan. Sederhananya begitu. Misalnya ada sebuah kampung. Di sana ada media, entah itu radio kecil atau papan pengumuman yang baik. Ini berarti orang-orang di kampung itu makin mendapatkan informasi yang bermutu, maka makin baik pula untuk mengambil keputusan mereka bersama-sama. Mulai dari soal menangani pencurian sampai kemacetan got.

Jadi di dalam suatu masyarakat, di mana medianya atau komunikasinya makin bermutu, makin baik, maka makin bermutu pula proses pengambilan keputusan di masyarakat bersangkutan. Maka proses untuk mendapatkan informasi yang bermutu itu perlu dilindungi. Perlindungan itulah yang disebut kebebasan pers. Artinya pers atau media harus bebas agar kehidupan masyarakat terlindungi. Di Indonesia memang secara teoretis ada jaminan terhadap kebebasan pers. Namun kalau kita lihat hukum-hukum yang ada, sejak Indonesia dibilang merdeka sampai hari ini, masih banyak hukum-hukum yang tidak menjamin kebebasan pers. Di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, ada 38 pasal yang bertentangan dengan kebebasan pers. Itu kesimpulan Dewan Pers.

Setelah Orde Baru tumbang, banyak orang yang meminta kebebasan pers lebih besar. Tapi para pejabat, misalnya, menganggap pers kita justeru sudah kebablasan. Soal ini memang pernah didiskusikan juga oleh orang media. Saya ingat Jakob Oetama dari Kompas mengakuinya. Dan kebablasan itu memang benar terjadi. Sekarang ini isi media dominan kriminalitas, seks, dan sebagainya. Televisi kita juga penuh acara mistik. Acara-acara aneh yang dianggap kurang bertanggung jawab.

Namun kalau kita mau belajar dari pengalaman negara-negara lain, terutama Eropa Timur, saya kira sebaiknya kita bersabar. Masyarakat akan bisa menilai. Kelak, saya yakin pers yang sensasional itu tidak akan bertahan. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang serius dan bertanggung jawab justru yang bertahan. Tapi, juga ilusi untuk berharap bahwa di dalam alam pers yang bebas itu tidak akan ada pers yang tidak bertanggung jawab. Pasti ada. Di negara-negara Eropa Barat pun banyak sekali tabloid sensasional seperti itu. Dan saya tidak mengkhawatirinya. Itu adalah konsekuensi dari pers yang bebas. Pasti ada orang yang kurang bertanggung jawab. Di Pulau Jawa banyak sekali wartawan yang kurang bertanggung jawab. Tapi saya percaya 100 persen bahwa kebebasan ini lebih banyak baiknya daripada buruknya.

Tentang hubungan pers dengan demokrasi, saya punya cerita menarik. Belum lama ini saya ketemu guru saya, Bill Kovach, di London. Dia cerita bagaimana dia ditelepon oleh seorang jenderal Amerika Serikat. Si jenderal cerita tentang penyiksaan oleh tentara atau aparat keamanan Amerika terhadap tahanan di Guantanamo, Kuba. Jenderal itu menelepon Kovach dan bilang, “Saya ingin hal ini diberitakan.” Kovach bilang bahwa banyak sekali jenderal Amerika yang sangat jengkel pada George Bush. Mereka menganggap Bush membajak pemerintahan Amerika.

Ketidaksukaan mereka pada Bush memang dipicu oleh kasus Guantanamo itu. Tapi kita juga tahu ada kasus penjara Abu Ghraib. Jenderal-jenderal itu merasa bahwa Bush membuat citra Amerika merosot, dan militer Amerika yang kena getah. Saya lalu tanya sama Kovach, “Kalau begitu, bagaimana kemungkinan jenderal-jendral itu melakukan kudeta?”

Kovach tertawa dan bilang, “Tidak mungkin.”

Saya tanya lagi, “Kenapa?”

Kovach menjawab, “Kan ada pers…”

Yang membocorkan rahasia-rahasia pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Amerika kepada pers adalah jenderal Amerika. Jadi itulah salah satu aspek penting dari kebebasan pers: mereka bisa ikut mengontrol dan membantu masyarakat untuk tahu bahwa pemerintah mereka brengsek. Motivasinya untuk kepentingan publik.

Jadi pers itu betul-betul punya peran yang menentukan dalam peningkatan kualitas demokrasi. Demokrasi bukan hanya berarti soal mencoblos di saat pemilihan umum, tapi juga mengembangkan apa yang disebut civil liberties: kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, dan seterusnya. Lihatlah, orang seperti diceritakan Bill Kovach itu betul-betul mengandalkan pers, bahkan sebagai pencegah kudeta. Kovach bahkan sering mengatakan bahwa kalau ada satu hal di luar agama yang dia anggap berguna buat kehidupan orang banyak, itu adalah jurnalisme.

Memang, dalam soal mutu, kita masih prihatin. Mutu media di Jakarta ini tak terlalu baik -- bahkan sangat buruk. Untuk ukuran internasional, termasuk Asia Tenggara, media kita di bawah standar. Kelompok Kompas Gramedia, Tempo Jawa Pos, RCTI, SCTV, saya kira standar mereka di bawah standar internasional.

Indikatornya banyak sekali. Banyak konvensi di dalam jurnalisme yang belum dipakai di Jakarta ini. Salah satu hal yang sangat sering saya bicarakan adalah tidak adanya byline (pencantuman nama penulis). Kalau Anda perhatikan surat kabar di Singapura, di Bangkok, di Manila, di Jepang, di Amerika, semua berita di sana umumnya menggunakan byline. Misalnya begini: ada berita gempa bumi di Liwa, Lampung. Di bawah berita itu ada byline oleh Si Badu. Di Kompas dan Tempo byline itu tidak ada. Padahal byline menyangkut soal accountability, pertanggungjawaban. Kalau dia menulis baik, dia akan dipuji. Orang akan menilai prestasi si wartawan. Kalau dia nulis buruk, dia akan ketahuan. “O, Si Badu ternyata bukan wartawan yang baik.” Namun di dalam tradisi jurnalisme kita, itu tidak ada. Sampai hari ini mungkin baru tiga atau empat surat kabar yang menggunakan byline dari 900an surat kabar.

Memang mereka bilang, begitulah cara mereka (tanpa pencantuman nama penulis) untuk mengatakan bahwa apa saja yang muncul di media itu adalah suara media tersebut, bukan suara orang-orang yang kebetulan bekerja di situ. Atau ada yang bilang, “Kita kasih byline kalau tulisannya bagus.” Tentu saja ini cara yang aneh –pencantuman nama penulis dilakukan hanya kalau tulisannya bagus. Maka hanya feature dan analisis yang pakai byline. Tapi kalau berita biasa, tidak pakai. Itu bukan prinsip byline. Prinsip byline diterapkan justru agar yang jelek bisa dikontrol oleh pembaca, audiens. Justru yang jelek yang perlu ketahuan. Yang bagus kurang memerlukannya, karena setiap tulisan yang muncul memang sudah semestinya bagus. Sekarang ini banyak orang yang berlindung di balik redaksi, sehingga prestasi individu wartawan di Jakarta atau di Pulau Jawa ini tidak pernah muncul. Itu karena tidak ada byline. Orang tidak dipacu untuk berprestasi.

Kembali ke isu pokok kita, di masa lalu kebebasan pers dan dan kebebasan mendapatkan informasi itu lebih baik. Menurut Benedict Anderson, seorang profesor dari Universitas Cornell, Amerika, periode pers yang lebih bermutu, dinamis, kritis, dan terbuka di kepulauan ini terjadi di tahun1910-an, zaman Hindia Belanda. Yaitu di masa Tirto Adhisoerjo, Mas Marcodikromo, FDJ Pangemanann, H. Kommer, Tio Ie Soei, Kwee Kek Beng, Soewardi Soerjadiningrat dan sebagainya. Mereka jauh liberal, terbuka, dan kreatif daripada pers zaman Indonesia.

Di masa itu tidak ada represi yang seberat zaman Indonesia. Tidak ada media yang dibreidel atau wartawan yang disiksa. Ada denda dan ada yang masuk penjara, tapi semua ada ukurannya, ada aturannya. Sekarang ini ada orang yang dibunuh dan dipenjara tanpa alasan yang jelas, apalagi di masa Orde Baru, sehingga media jadi takut. Pada zaman liberal Hindia Belanda, hal-hal semacam ini tidak ada. Di jaman itu, polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, misalnya, luar biasa bagusnya. Atau, lihat debat Soekarno dengan A. Hasan di Suluh Indonesia (Bandung). Juga tulisan-tulisan Moh. Hatta pada waktu itu. Pendeknya, esai-esai yang bagus, kuat, dan tajam bermunculan di masa lalu dan tidak ada di zaman sekarang.

Memang, sekarang ini kebebasan sangat maju. Namun ada tekanan lain yang muncul, namanya pasar. Dan juga konglomerasi media. Sekarang orang harus efisien. Satu wartawan harus nulis tiga berita sehari. Atau terjadi pemakaian berita secara bersama-sama: satu wartawan beritanya dipakai oleh beberapa atau puluhan surat kabar. Itu tidak baik. Karena persepsi satu orang itu tentu kurang baik dibanding persepsi sepuluh orang. Para pengusaha media itu dulu kan membuat banyak uang. Di Kompas, Tempo, RCTI, dan lain-lain, mereka menghasilkan banyak sekali uang. Jadi mengapa mereka harus berubah jika mereka bisa berbaik-baik dengan penguasa? Maka sekarang bergandenganlah mereka dengan presiden, menteri, jenderal, karena itu membuat mereka aman.

Beberapa media, misalnya Kompas, memang sangat kritis terhadap Presiden Yudhoyono. Tapi sikap kritis itu hanya untuk satu-dua peristiwa, misalnya soal kenaikan harga BBM. Namun secara umum tidak. Yang juga mencolok adalah: media di Jawa, Medan, Makassar, dan lain-lain tidak pernah mau mengkritik sesama media. Ini luar biasa anehnya. Kenapa? Karena salah satu kerja media adalah memantau kekuasaan. Kekuasaan itu bisa pemerintah, pers, tentara, agama, dan sebagainya. Tapi terhadap sesama media, tidak pernah dipantau dengan standar yang sama. Aneh.

Padahal, di negeri-negeri lain – misalnya India atau Amerika Serikat -- praktek semacam itu cukup lazim. Artinya kalau ada koran atau majalah nulis jelek, dia akan dikritik oleh koran lain. Misalnya sekarang ini ada tuduhan bahwa pemimpin Grup Jawa Pos Dahlan Iskan terlibat tindakan korupsi, menggelapkan pajak, dan sebagainya. Namun apakah ada pemberitaan tentang itu di media lain?

Menurut saya, itu adalah solidaritas yang tidak pada tempatnya. Salah. Itu merugikan masyarakat. Jawa Pos itu punya perusahaan banyak. Mulai dari harian Rakyat Aceh di Banda Aceh hingga harian Timor Ekspres di Kupang, sampai Cendrawasih Pos di Jayapura. Dan ternyata CEO jaringan semua surat kabar itu dituduh terlibat tindakan korupsi. Kenapa tidak diberitakan? Mereka dituduh korupsi, bahkan salah seorang di antaranya sudah diperiksa polisi.

Bagi saya, kalau pemilik sebuah koran dianggap melanggar hukum, kasusnya harus diberitakan oleh koran yang bersangkutan. Jadi pemilik koran itu tidak dipandang sebagai pemilik koran, melainkan sebagai warga negara biasa. Beritanya pun berita biasa saja. Bisa diedit oleh orang lain kalau tidak mau dibilang tidak independen. Itu sangat biasa. Saya pernah bekerja di beberapa media internasional. Kalau editor saya salah, mereka selalu bilang, “Anda punya hak untuk melaporkan dan menulis cerita tentang saya di koran ini!”

BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber mereka bunuh diri. Itu dilaporkan oleh BBC sendiri. Reporter The New York Times pernah menipu, dan dilaporkan oleh The New York Times sendiri. Koran itu juga pernah keliru dalam soal senjata pemusnah masal di Irak; itu diberitakan oleh NYT dan mereka minta maaf.

Tradisi di media kita, kalau wartawannya sendiri yang meninggal atau kawin, barulah beritanya dimuat. Tapi, menjadikan koran seperti media keluarga semacam itu tidak mengapa. Asalkan, kalau pemiliknya melakukan kejahatan, misalnya korupsi atau melakukan pelecehan seksual, itu harus diberitakan. Mereka toh memberitakan orang lain -- orang selingkuh diberitakan, orang korupsi diberitakan-- tapi dirinya sendiri tidak diberitakan? Padahal, kalau media menempatkan diri sebagai institusi masyarakat, memberitakan diri sendiri itu tidak ada masalah, justru akan membuat kredibilitas koran bersangkutan semakin tinggi.

Ancaman terhadap kebebasan pers juga bisa muncul dari pemilik media itu, misalnya dengan alasan bisnis. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95 persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga Indonesia –kecuali Maluku dan Papua—didapat dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta. Jadi sangat terkonsentrasi oleh segelintir orang yang ada di Jakarta. Sekitar sebelas televisi nasional yang ada di Jakarta itu menguasai audiens sekitar 92 persen di seluruh Indonesia. Ini bagi saya sangat mengganggu. Artinya suara, reportase, perspektif, interpretasi berita itu semua ditentukan dari Jakarta. Efeknya adalah suara-suara orang di luar Jakarta tidak pernah muncul di media.

Semua itu bisa disimpulkan bahwa kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi tidak termanfaatkan dengan semestinya. Terjadi konsentrasi pemilik modal di Jakarta. Mutu wartawan juga masih masalah besar. Menurut beberapa survei, kebanyakan wartwan di Jawa dan Medan menerima amplop, suap. Saya kira di tempat-tempat lain pun sama. Inilah salah satu sisi terburuk dalam jurnalisme Indonesia, yaitu wartawannya mudah sekali disuap. Mungkin mereka mengatakan gajinya kecil. Tapi saya kira kebanyakan wartawan menerima upah di atas upah minimum. Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan suap.

Mutu tulisan mereka juga buruk. Semua orang mengeluhkan hal ini. Goenawan Mohamad mengeluh. Jakob Oetama mengeluh. Semua orang mengeluh bahwa wartawan kita tidak bisa menulis dengan baik. Goenawan mengatakan, ini terjadi karena di Indonesia tidak ada tradisi menulis yang berkembang. Tapi sebenarnya kalau diberi kesempatan, mereka bisa.

Saya pernah mengelola sebuah majalah, namanya Pantau. Kami menerbitkan tulisan-tulisan yang bagus dan menjadi buku. Beberapa orang menganggap buku itu bagus. Maria Hartiningsih dari Kompas mengatakan bahwa itu esai atau laporan terbaik yang dibuat wartawan Indonesia masa kini. Orang-orang yang menulis di sana masih muda-muda. Artinya, kalau mereka diberi kesempatan; kalau medianya mendorong, memberi fasilitas, tempat, tim editor yang bagus, topangan sistem yang bagus, mereka mampu. Saya kira masalahnya adalah sistem kerja --sistem penugasan, kriteria rekrutmen wartawan dan penilaian kinerja mereka-- di Jakarta ini yang cacat, sehingga tidak muncul jurnalisme yang bermutu.

No comments: