Friday, April 28, 2006

Menulis Perlu Tahu dan Berani

Untuk Luh Putu Ernila Utami di Bali,

Aku tidak menulis makalah saat aku membawakan sesi soal menulis itu. Minggu lalu, aku mulanya mengira sesi itu akan dilakukan dengan format kecil, 10-15 orang, dengan diskusi hangat dan suasana temaram. Ternyata pesertanya 40-an orang dengan ruang besar, meja raksasa, kursi berlengan, serta kebisingan jalan tol.

Intinya, aku cuma mengajak para peserta, para aktivis itu, berpikir ulang soal bagaimana mereka bisa menulis yang menarik sekaligus mendalam.

Aku tahu banyak dari kalian punya pengalaman dahsyat. Dari bikin demonstrasi anti kabel listrik voltage tinggi hingga pemogokan angkutan umum. Dari Bali sampai Maumere, dari Salatiga sampai Makassar. Ini semua bahan-bahan menarik untuk diceritakan.

Kalian melawan polisi. Kalian melawan bupati. Kalian melawan partai. Kalian bahkan ada yang melawan negara. Aduh, itu cerita berminyak untuk ditulis gurih dan diceritakan renyah untuk orang lain. 

Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Ada dua syarat sederhana bila ingin menulis: kau harus tahu dan kau harus berani.

Kau harus benar-benar menguasai isu yang kau tulis. Janganlah kau menulis soal "peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat" atau "globalisasi dalam kaitannya dengan Pancasila serta Islam" dan sebagainya. Kata-kata itu cuma jargon.

Kau jangan membebek orang lain menulis. Mereka sok pinter. Mereka sering tak tahu perdebatan-perdebatan yang sudah dilakukan orang-orang macam Michael Sandel dan Thomas Friedman soal globalisasi. Mereka tak tahu kebohongan Muh. Yamin atau Nugroho Notosusanto dengan apa yang dinamakan Pancasila. Ada ratusan teori soal demokrasi dan mereka belum baca tuntas semuanya. Pakai kata-kata sederhana. Kalimat pendek-pendek.

Lebih baik kau tulis masalah sehari-hari. Penyair Widji Thukul menulis masalah sehari-hari bila memulai syairnya. "Tadinya aku pengin bilang: aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah. Ingat: setiap orang!" tulis Thukul dalam Tentang Sebuah Gerakan.

Sederhana sekali.

Kalau kau mau "tahu" maka kau harus bikin riset. Kau harus baca buku. Kau harus wawancara orang. Minta izin bila hendak mengutip omongan orang. Harus jujur. Harus transparan. Kau tulis masalah listrik naik di subak kau. Kau tulis soal kesulitan tetangga kau si tukang jahit. Kau tulis tentang orang-orang biasa. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Semua keterangan itu harus kau saring. Carilah kebenaran.

Mulailah dari hal kecil. Kelak tanpa sadar kau akan baca makin banyak buku. Kau akan wawancara ribuan orang. Kelak tanpa sadar kau bisa menulis soal kebohongan dan kejahatan para petinggi negeri kita.

Tetapi "tahu" saja tidak cukup. Kau harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran kau. Pramoedya dan Thukul adalah orang berani. Pram dipenjara Belanda, Soekarno dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis. Kupingnya budeg gara-gara hajaran serdadu. Thukul bahkan diculik dan hilang hingga hari ini.

Mereka tahu kesusahan si tukang jahit atau si jongos. Mereka berani pula menulis untuk membela si kecil.

Menulis adalah "laku moral." Kita bicara soal kebenaran. Kau harus berani menyatakan kebenaran. Aku kenal banyak wartawan di ibukota negeri ini. Mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi. Kok nulis ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut bisnis mereka terganggu. Maka "himbauan" si bedinde diikuti.

Akibatnya, banyak cerita di belakang layar yang tak ditulis di negeri ini. Kau maklum saja. Mereka tak punya keberanian macam Pram atau Thukul. Mereka lebih takut ditegur redakturnya. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi ekor di balik pantat.

Jadi, kalau kau mau menulis, hanya dua syarat sederhana. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Kau harus berani.

Itulah inti dari sesi pelajaran menulis di Jakarta minggu lalu. Aku harap surat kecil ini membantu kau memahaminya. 

Terima kasih karena kau sudah rela sedia tenaga mengambil makanan untuk rekan-rekan kau.

3 comments:

Astri Kusuma said...

Pak Andreas, ini tulisan yang bagus :) Ya, menulis memang butuh "tahu", dan "berani". Ketika tulisan itu ternyata memerahkan telinga beberapa pihak, penulis harus bersiap menghadapi konsekuensi..Bahkan ketika dia mneulis dalam sebuah milis kantor..:) Mulai dari dimusuhi orang sekantor, sampai harus keluar dari pekerjaan. Tapi, ketakutan terhadap konsekuensi itu sedikit demi sedikit berkurang ketika seorang teman berkata "well, it is time for them
to open their mind. aku salut sama kamu. kamu tau ga? banyak orang
yang merasa dirinya terjajah...
tapi hanya sedikit orang
yang brani mengambil tindakan. dan apa yang terjadi
dengan sedikit orang itu?
pertama2,
rasanya smua orang
atau sluruh dunia
akan memusuhi
those brave persons. but deep inside...
everybody wish to have
that kinda courage. And they know,
only a few special people has it. and now,
you are among those people:)"

Yati said...

anjrit...ini tulisan menohok banget :D baru liat saya...

Aunul Fauzi said...

aku menemukan jawaban atas pertanyaan tak pentingku rabu kemarin ... tentang ketakutan menghadapi resiko menulis ... kutemukan tulisan ini sebagai penyemangat untuk mulai membangkitkan keberanian yang (tak kusadari) lama padam ...