Friday, June 16, 2006

Biak, Militer dan Melanesia


Aku tiba di Biak pada hari Rabu sore, 14 Juni 2006, dengan pesawat Merpati. Aku pergi menginap di Hotel Arumbai. Ini hotel milik pengusaha Ambon. Tampaknya cukup tua.

Selama di Papua, ini pertama kali aku bisa menonton siaran Piala Dunia dari Jerman lewat saluran SCTV di kamar sendiri. Di Jayapura, penginapannya bahkan tak ada televisi. Aku harus naik mobil, jalan kaki menyeberangi sungai, untuk nonton pertandingan pembukaan Jerman versus Costa Rica.

Malamnya aku pergi makan ikan baronang bakar di sebuah restoran Bugis. Enak sekali. Lalu jalan kaki keliling blok pusat kota. Aku punya kesan yang menyenangkan di Biak. Pusat kota ini, antara lain Jalan Selat Makassar, tata letaknya berkotak-kotak. Kesannya rapi. Aku juga punya kesan kota ini lebih "Melanesia" daripada Jayapura, Timika maupun Merauke.

Grafiti depan apotik: Papua Pasti Merdeka.
Di ketiga kota itu, orang Melanesia, yang rambut keriting dan kulit gelap, rasanya tidak sebanyak orang rambut lurus. Biak juga punya kebudayaan yang lebih Melanesia daripada kota-kota di daratan Papua. Biak lebih terasa Melanesia.

Menurut Dicky Iwanggin, ketua Komisi Pemilihan Umum Biak, kesan itu mungkin timbul karena Biak hanya sebuah pulau di Papua. Biak tidak dibanjiri transmigran dari Jawa maupun pendatang dari Bugis dan tempat-tempat lain di Indonesia sebanyak daratan Papua.

Musik yang menggelegar di jalan juga banyak pakai bahasa etnik Biak. Di pasar, aku dengar orang banyak bicara dalam bahasa Biak.

Tapi kesan ini bisa salah bila mengingat berbagai fasilitas militer Indonesia yang ada di Biak. Di sini ada pangkalan Angkatan Udara Manuhua. AURI juga menguasai tanah luas sekali di kota Biak. Angkatan Laut sekarang tak mau kalah. Posisi Biak yang strategis menghadap Samudera Pacifik membuat ia jadi pilihan militer. Angkatan Darat menempatkan sebuah komando resor militer di kota Biak. Alhasil, menurut beberapa orang Biak, lebih dari separuh tanah di kota Biak dikuasai militer Indonesia.

Ada juga acara pembentukan "Forum Bela Negara" di Hotel Mapia Biak oleh Departemen Pertahanan dari Jakarta. Orang-orang Papua dikumpulkan dan diberikan pendidikan "civic education."

Aku sempat bicara dengan beberapa pejabat militer Indonesia untuk mendapatkan pandangan mereka. Sayang, tak ada satu pun yang mau dikutip namanya. Bambang Sulistiyono, seorang perwira Angkatan Udara urusan intelijen, mengatakan aku harus minta izin dari Jakarta buat wawancara di Biak.

Aku juga lihat banyak grafiti di kota. Paling besar adalah grafiti, "Papua Pasti Merdeka" tercoret dekat tempat beberapa dokter praktek bersama di Jalan Selat Makassar. Ada juga grafiti sejenis, "Papua Tetap Merdeka" terletak dekat menara air Biak.

Menara Air Biak.
Pada 6 Juli 1998, di menara air ini terjadi penembakan orang-orang Papua oleh militer Indonesia. Ada 23 orang mati ditembak tapi hingga hari ini masih banyak yang hilang diambil oleh militer Indonesia. Mereka ditembak karena selama beberapa hari menaikkan bendera Papua "Bintang Kejora" di puncak menara.

Ini bukan kejahatan tapi sebuah pernyataan politik. Tapi begitulah. Orang-orang tak bersalah itu dibunuh. Sebagian besar diculik dari rumah mereka dan tidak kembali termasuk satu keponakan Iwanggin. Ada beberapa perkiraan tentang jumlah korban. Ada yang bilang 100. Ada yang bilang 200. Mereka diduga dibawa ke laut dan dibunuh. Jumlah yang benar tak diketahui.

Biak memang salah satu pusat perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia di Papua. Aku juga sering dengar lelucon soal singkatan "Irian."

Dulu Frans Kaisiepo, politikus Papua yang mendorong Papua masuk Indonesia, memanjangkannya "Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands."

Kini "Irian" diartikan, "Ikut Republik Indonesia Akibatnya Neraka."

Orang Papua kebanyakan lebih suka memakai kata "Papua" daripada "Irian."

Christian Padwa, seorang aktivis Organisasi Papua Merdeka, memanjangkan "Papua" sebagai "Pintu Australia, Pintu Untuk Asia."

Padwa dulu pernah ditahan dua kali oleh Indonesia, 1967-1969 dan 1984. Kini orang tua satu ini lebih sering jalan-jalan menjaga kesehatan sambil bergurau. Ia diet. Ia tak minum apapun selain air putih. Ia cinta pada Biak. Ia mengajakku jalan-jalan kota Biak serta bertukar gurauan. Kami pergi ke pasar. Kami mencicipi kue-kue yang enak di sebuah toko roti.

Aku juga diajaknya melihat konstruksi toko "Sarinah" yang dijanjikan Presiden Indonesia Soekarno dibangun di Biak pada 1962. Hingga tahun ini, konstruksi itu ya tetap konstruksi. Soekarno dulu minta Partai Komunis Indonesia membangun toko ini. Tapi pada 1965, partai ini dihancurkan lebur dan bangunan toko ini pun terbengkalai.

Orang-orang Jawa yang didatangkan membangunnya juga hilang --mungkin ditangkap dan dibunuh juga. Tapi sudah empatpuluh tahun lebih, konstruksi telanjang toko itu tegak dan tetap mengingatkan janji-janji kosong Indonesia kepada warga Biak.

Padwa bilang pasukan Indonesia yang mendarat di Biak pada 1960an "buas sekali." Ia menyaksikan bagaimana pasukan Indonesia membakar buku-buku dan suratkabar berbahasa Belanda. Mereka juga sering main pukul orang. Juga ada perempuan Biak diperkosa tentara Indonesia. Padwa berpendapat Belanda bukan penjajah yang baik tapi Indonesia jauh lebih buruk daripada Belanda.

Kota yang mengesankan. Ia mengesankan justru karena kegigihannya untuk bertahan. Padwa mengatakan OPM punya slogan, "We cassoaries cannot fly but by God we can run."

Siapa tak tahu kalau burung kasuari bisa lari cepat sekali?

2 comments:

andreasharsono said...

The Jakarta Post
Thursday, June 29, 2006

Civilian forces planned to help patrol islands

The Jakarta Post, Jakarta

The Defense Ministry is preparing to involve civilian patrols to help the military guard the many outlying uninhabited islands dotted across the country.

Defense Minister Juwono Sudarsono said here Wednesday the planned mobilization of non-military forces would save costs in the Indonesian military's limited defense budget.

Speaking after taking part in a teleconference with Biak regency officials in Papua, Juwono he would discuss the possibility of starting 24-hour civilian patrols around outlying lesser islands in conjunction with the Army, Navy and Air Force.

He said the government could only allocate Rp 82.2 trillion to the defense budget for a combined force of more than 480,000 personnel.

Data from the Maritime Affairs and Fisheries Ministry indicates Indonesia has at least 92 outlying lesser islands, 67 of which directly border neighboring countries and 12 others, it deems are "prone to occupation" by neighbors.

"I will discuss the possibility of carrying out patrol activities with military commanders and other related government officials," Juwono said.

He said the Defense Ministry would cooperate with the maritime and transportation ministries and other state agencies to help the military guard the islands.

During the teleconference, Biak legislative council head Nehinia Waspakrit asked the ministry to focus on the outlying islets.

"Around 280 miles (467 kilometers) from Biak, there is an island called Mapia, which could easily be compromised. I ask the government to seriously consider defending this isle and other outlying islands in Indonesia," he said.

In response, Juwono said soldiers from the Army, Navy and Air Force conducted weekly patrols around most of the nation's outlying lesser islands.

But the troops could not patrol there every day because there was not enough money in the defense budget, he said.

"That is why we will develop a joint patrol with non-military forces."

Juwono said a "cultural defense" strategy could be as important as a military one.

The teleconference involved senior officials from the Defense Ministry who flew to Biak, and local government officials. No tribal or local community leaders attended the forum.

Separately, Kusnanto Anggoro, a military expert from the Center for Strategic and International Studies (CSIS), said the national defense strategy should not involve non-military forces.

Kusnanto urged the ministry to draw up a grand design for the country's defense first before it involved civilians.

"Indonesia's defense strategy must prioritize at least 12 islands that are prone to domination by other countries," he said.

"Transnational crimes and foreign military forces must be handled by military forces. There is no excuse (not to do so)."

Anonymous said...

Pak Andreas, dengan Chris Padwa di Biak, bisa minta alamat e-mailnya kah? alamat e-mail saya: karoswaf[at]hotmail.com

Salam dari kota karang, Biak; Gersang tapi merangsang.