Wednesday, June 14, 2006

Merauke soal HIV dan Populasi


Aku akhirnya menginjak tanah Merauke setelah 35 bulan lalu memulai perjalanan ini dari Sabang, Aceh, guna mengumpulkan bahan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Merauke terletak dekat perbatasan dengan Papua New Guinea. Border crossing terdekat terletak di daerah Sota, sekitar 80 km dari Merauke. Artinya, Merauke sebenarnya secara geografis bukan kota yang benar-benar paling timur di Papua. Di selatan Sota juga ada border crossing bernama Kondo. Ia lebih jauh dari Merauke, di daerah lepas pantai, yang lautnya berhadapan dengan benua Australia.

Jangan kaget mengetahui Merauke sebenarnya bukan kota paling timur Indonesia, sesuai slogan "Dari Sabang Sampai Merauke." Kota Sabang, yang terletak di Pulau Weh, sebenarnya juga bukan titik paling barat Indonesia. Ada Pulau Rondo yang lebih barat lagi dari Pulau Weh.

Semua ini khan untuk keperluan slogan. Bayangkan kalau lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" diganti jadi "Dari Rondo Sampai Kondo." Ritmenya mungkin lebih enak ya ... pakai do ... do ... do ... do. Atau kalau "Dari Rondo Sampai Sota" maka ritmenya jadi do ... ta ... do ... ta. Ritme ini bisa diplesetkan:

Dari Rondo sampai ke Kondo
Berjajar do do do do
Sambung menyambung menjadi bodoh
Itulah Indobodoh


Tapi siapalah kita ini. Ketika Presiden Soekarno memakai slogan Sabang dan Merauke, ya dia punya media besar untuk melancarkan slogan itu. Ia menguasai podium, media pemerintah dan seterusnya. Soekarno tentu punya pertimbangan sendiri. Slogan itu sendiri diciptakan J.B. van Heutsz, yang diangkat gubernur jenderal Hindia Belanda pada 1904, sesudah mengalahkan Aceh dengan sadis. Pasukannya membunuh 2,900 orang Aceh, termasuk 1,100 wanita dan anak-anak. Van Heutsz lantas menciptakan slogan "vom Sabang tot Merauke" untuk menerangkan wilayah Hindia Belanda. Mungkin nama Sabang dan Merauke, berkat Van Heutsz dan Soekarno, relatif lebih dikenal daripada Sota, Rondo, Kondo maupun Wutung (border crossing di utara Papua, dekat Jayapura, yang segaris dengan Sota maupun Kondo). Pulau Rondo juga tak ada penghuninya. Ia terlalu terpencil.

Di Merauke, aku tinggal di Hotel Nirmala, kamar semalam Rp 285,000 dengan ruang luas, ada air panas. Pelayanan ya pas-pasan. Ada pesawat televisi tapi tak menyala. Pokoknya, ada ranjang bersih dan ia terletak di Jalan Raya Mandala. Ini jalan utama dan terpenting di Merauke.

Merauke terletak di dataran rendah dekat laut dan sungai-sungai. Kabupaten Merauke tergolong subur. Agapitus Batbual, wartawan mingguan Suara Perempuan Papua, mengatakan bahwa kota ini terletak 1 meter di bawah permukaan laut. Jalan-jalan lurus dan lebar. Kota berbentuk kotak-kotak.

Sekilas ada dua isu yang menarik perhatianku di Merauke. Pertama, kota ini sering disebut sebagai tempat pertama penyebaran virus HIV/AIDS di Papua. Sumbernya dari nelayan-nelayan Thai. Disini memang ada pelabuhan dimana nelayan Thai sering berhenti.

Aku mewawancarai beberapa pekerja seks di Merauke, dari yang kerja di bar hingga di tempat pelacuran liar "Bel Rusak" --singkatan dari "Belakang Rumah Sakit."

Banyak orang Papua mengatakan mereka mati sebagai bangsa, antara lain, karena penyebaran HIV. Mereka membandingkan jumlah penduduk Papua Barat pada 1962, ketika mulai diperintah Indonesia, ada 800 ribu dan PNG sekitar 1 juta.

Empatpuluh tahun ikut Indonesia, penduduk Papua asli paling banyak 1.5 juta sedang di PNG ada enam juta. Mengapa di PNG bisa naik hingga enam kali sedang Papua cuma dua kali?

Aku bicara dengan aktivis HIV dari Yayasan Santo Antonius. Aku juga baca buku-buku soal kontroversi ini. Menariknya, aku juga sempat bicara dengan seorang germo yang pekerjaan sehari-harinya ada tentara Angkatan Darat.

Isu kedua adalah populasi. Merauke adalah lokasi sasaran transmigasi besar-besaran dari Pulau Jawa sejak 1983/1984. Ada delapan sarana pemukiman transmigran disini. Nama-nama desa juga Jawa: Sumber Mulya, Sumber Harapan, Jaya Makmur, Rawa Sari, Marga Mulia, Semangat Jaya, Telaga Sari dan sebagainya. Bahasa Jawa dipakai luas disini.

Di kota (downtown) Merauke, menurut Perwita Sari dari Badan Pusat Statistik Merauke, kelihatannya lebih banyak "pendatang" daripada "penduduk asli." Tapi jumlah total di seluruh kabupaten tidak diketahui karena tidak ada sensus etnik. Mereka tak punya data etnik dan agama karena "keterbatasan dana."

Yulianus Bole Gebze dari lembaga masyarakat adat Malind mengatakan migrasi adalah sesuatu yang wajar dalam peradaban manusia. Administrasi Belanda juga mendatangkan pekerja dari Jawa pada 1920-an. Malind atau Marind adalah etnik yang dianggap "asli" di Merauke. "Kita butuh pendatang tapi tidak seperti jumlah sekarang," kata Gebze.

"Dengan jumlah seperti sekarang, tidak mungkin orang Papua berkembang. Job opportunities are all occupied by non Papuans." Gebze orang yang menyenangkan. Lagu bicaranya pelan dan sopan. Ia seorang kepala kampung Malind. Ia mencerminkan opini mayoritas orang Papua yang ingin merdeka dari Indonesia. Orang Papua bukan orang Indonesia. Mereka punya kebudayaan dan gaya hidup Melanesia.

Aku juga bicara dengan banyak transmigran atau keturunannya. Banyak yang asal Banyuwangi dan Jember! Aku sempat praktek bicara bahasa Madura di daerah SP II Tanah Tinggi. Mereka juga senang mendapati seorang "bapak wartawan" bisa bicara Madura. Ini bahasa yang pernah aku pakai ketika masih kanak-kanak. Aduh, keluhannya banyak banget. Bahkan ada ibu Madura kelahiran Jember yang pesan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memperbaiki rumahnya!

Aku juga mengambil foto tugu L.B. Moerdani di Tanah Tinggi. Ini semacam tugu yang dibangun oleh pemerintah Merauke untuk memperingati operasi Mandala. Kebetulan Mayor Moerdani pada 1962 ikut pasukan Indonesia yang diterjunkan dengan payung ke Merauke. Pada 1983-1988, Moerdani menjadi panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan tangan kanan Jenderal Soeharto.

Aku bekerja keras selama tiga hari di Merauke. Wawancara dan cari dokumen. Hari pertama, aku kerja hingga larut malam. Hari kedua, tak terlalu malam tapi waktu habis untuk berkemas. Lucunya, ini pertama kali aku lihat Piala Dunia disiarkan langsung lewat layar lebar dalam gedung gereja! Maklum siaran SCTV jarang bisa ditangkap televisi di Papua ini. Maka gereja mengambil inisiatif nonton bareng di dalam gereja. Paginya dipakai misa.


Update
Agapitus Batbual mengirim pesan pada 15 Oktober 2007, "Sekitar pukul 15:00 Pak Yul menghembuskan nafasnya dengan damai di RSUD Merauke." Aku ikut berduka dengan perginya Yulianus Bole Gebze dari masyarakat adat Malind. Merauke kehilangan seorang pemimpin.

3 comments:

Anonymous said...

Napi Yang Kabur Dari LP Merauke Difasilitasi Oleh TNI/POLRI

Posted by SPMNews Maro on Aug 2, 2006, 15:41

Merauke - (SPMNews) -- MISTERI Kaburnya sejumlah narapidana dari LP Merauke beberapa waktu lalu dan saat ini meresahkan masyarakat Merauke dengan aksi-aksi kriminalnya kini mulai terkuak. Mereka ternyata dikeluarkan oleh TNI/POLRI, kemudian difasilitasi untuk melakukan serangkaian pembunuhan, pemerkosaan dan penghadangan terhadap Warga Pendatang.

Tujuannya jelas, untuk menciptakan konflik horizontal antara warga pendatang dengan warga asli Papua dan menciptakan citra buruk bagi Orang Papua sebagai penjahat, pemerkosa, pembunuh, dlsnya.

Mereka yang berhasil dikeluarkan dari LP Merauke oleh TNI/POLRI dan menjadikan warga pendatang sebagai sasaran tindakan kriminal adalah Boy Rumadas, Thomas Nuangka, Ary Muyak, Thommy Leo dan Petrus Tokomonowir.

Saat ini tindakan para narapidana itu semakin menjadi-jadi, tetapi korbannya hanyalah warga pendatang. Mereka tidak pernah melakukan kejahatan terhadap warga Papua.

Resahnya warga pendatang di Merauke juga membuat resah Bupati John Gluba Gebze. Sebagai langkah perlindungan terhadap warga pendatang ini, Bupati gebze mengatakan bahwa tidak ada cara lain, selain tindakan tegas yang harus diambil karena sudah keterlaluan.

"Perampokan, penjambretan, pembunuhan, pemerkosaan. Dari pada nanti mereka bilang pemerintahnya lemah, kita sekarang buat shock terapi. Kalau mereka sekarang bisa langgar kemanusiaan, kenapa kita tidak bisa bertindak demi kemanusiaan. Itu saja," jelas Gebze.

Bupati Gebze juga mengatakan bahwa akan ada razia besar-besaran di kota Merauke untuk membatasi kejahatan narapidana ini.

"Jadi akan ada perintah Razia. Kita akan melakukan razia terhadap semua orang, mulai dari senjata tajam dan sebagainya," terang Bupati Gebze menambahkan.

Perlindungan yang diberikan terhadap warga pendatang mutlak merupakan tugas Gebze sebagai budak mereka, tetapi harus diingat bahwa kawanan narapidana itu tidak akan sadis kalau mereka tidak difasilitasi oleh TNI/POLRI.***

Anonymous said...

Terima kasih Mas. Jadi punya informasi lain mengenai HIV di Papua.

comment said...

Sebenarnya kota Merauke adalah salah satu kota yang indah di pulau Papua. Berhubung banyak orang yang datang ke kota ini hanya untuk merusak dan meracuninya, kota ini menjadi kota yang dianggap negatif. Saya sebagai salah satu anak Merauke sangat menyayangkan sekali hal ini. Banyaknya prostitusi di kota ini membuat kami semakain tidak nyaman. Tidak dipungkiri many people there sometimes do not aware about that. There are so many problems in this town. something that make me really disappointed is police and also yeah let's say TNI. What they do isn't for something good. They more incline to "visit" that place. I mean BAR and so on. If someone who read my comment doesn't believe, you can prove that if you want. thanks for reading my comment.