Wednesday, January 03, 2007

Mengapa Kami Menikah?

Sapariah Saturi dan Andreas Harsono


Kami bertemu pertama kali saat tsunami menghantam Aceh dan Pulau Nias. Waktu itu, 24 Desember 2004, kami kebetulan bertemu di ruang tamu harian Pontianak Post. Tak ada yang istimewa kecuali pertemuan antar sesama wartawan. Satunya dari Jakarta, sedang liputan ethnic cleansing Madura di Kalimantan. Satunya lagi, seorang reporter Pontianak, orang Madura, menawarkan bantuan.

Lalu kami berteman biasa. Mulanya via telepon lalu sering bertemu. Kebetulan kami lalu sama-sama tinggal di Jakarta. Sama-sama tinggal di daerah Senayan. Rumah berdekatan. Kami punya banyak teman bersama. Sering ketemu. Sering makan-makan bersama.

Saat pujangga Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, 30 April 2006, kami sedang naik kereta api dari Jakarta ke Blitar. Sepanjang jalan bicara soal perjuangan Pram. Perjalanan itu mengesankan. Stasiun kecil. Sawah-sawah. Musik rock klasik lewat MP3 Samsung.

Sialnya, dalam kereta api kami kehilangan laptop IBM dan kamera digital Canon. Kami tertidur. Tak sadar ada pencuri masuk ke gerbong dan mengambil barang-barang itu dari dalam tas. Di Blitar, lapor polisi lalu naik becak. Kami tinggal di hotel kuno, Sri Lestari. Makan nasi pecel. Perabotan Jawa. Bahasa Jawa dialek Blitar.

Seorang teman belakangan kasih komentar, “Bahwa barang siapa pasangan yang sedang saling menjajagi hubungan dan salah satunya kehilangan barang yang cukup bernilai, mereka akan pacaran dengan cepat dan kemungkinan jadi pasangan harmonis.”

Kami pergi melihat museum dan makam Presiden Soekarno –seorang politikus Jawa yang banyak membentuk khayalan tentang “bangsa Indonesia” pada awal abad XX. Disana ada cerita mistik soal lukisan Soekarno yang "hidup" --selalu berdenyut-denyut walau tak ada angin. Atau meramal nasib dengan uang kertas rupiah bergambar Soekarno.

Petugas museum mengeluarkan koleksi langka itu. Ia mengetesnya di tangan kami. Bila uang "menggiling" diri, artinya kami akan mendapat keberuntungan. Bila tidak, kami sial. Maka kami mencoba. Ternyata uang itu, tanpa aba-aba, bergiling di tangan. Kami diramal bernasib baik.

Kami juga mengelilingi Candi Palah di desa Panataran. Indah sekali. Ceritanya, pasangan Rama dan Sinta. Bagaimana Sinta diculik oleh Rahwana dari kerajaan Alengka lalu Rama mencari isterinya itu dibantu raja kera Hanuman.

Candi Palah candi terbesar era Majapahit. Ia digunakan untuk memuja dewa Shiwa di kaki Gunung Kelud. Kami sebelumnya mengembangkan nama “Indopahit” –“Indonesia keturunan Majapahit” atau “Indonesia yang pahit.” Kami tentu tertarik melihat candi Majapahit ini. Candi Palah ternyata jauh lebih kecil dari candi Prambanan apalagi Borobudur. Kami tahu Soekarno menciptakan mitos sebuah kerajaan masa lalu, yang seakan-akan menguasai seluruh wilayah Indonesia hari ini, ketika nyatanya, Majapahit cuma memerintah sebagian Pulau Jawa. Salah satu lawan Majapahit adalah kerajaan Pajajaran di daerah Sunda. Bagaimana Majapahit menguasai ribuan pulau dari kesultanan Aceh hingga kampung-kampung di Papua ketika memerintah Sunda saja tak sanggup?

Namun mitos itu diperlukan Soekarno guna membangkitkan khayalan bahwa kepulauan ini, yang dinamai Indonesia, pernah bersatu sebelum kedatangan Belanda. Ini hanya mitos. Kenyataannya, Belanda adalah kekuatan pertama yang mampu mempersatukan, secara diplomasi maupun militer, lebih dari 400 kerajaan di kepulauan ini. Belanda pula yang membentuk kesadaran akan sesuatu yang bernama ”Indische” atau ”Hindia Belanda.”

Di Blitar kami banyak diskusi soal disain negara Republik Indonesia. Kami cerita soal perdagangan gula yang tidak fair di Kalimantan Barat akibat sentralisme Jakarta. Indopahit, tentu saja, banyak kami olok-olok. Soekarno sosok besar tapi banyak kekeliruannya ketika merancang nasionalisme Majapahit untuk Indonesia. Kebangsaan dengan dasar sempit. Tak heran hingga hari ini, lebih dari empat juta warga kepulauan disini, dengan label ”komunis” maupun ”pemberontak”, dibunuh atas nama ”bangsa Indonesia.”

Kami bergurau soal lima dasar negara Indopahit: (1) Hidupnya korupsi, kolusi dan nepotisme; (2) Kekerasan sebagai senjata ampuh; (3) Anti perbedaan; (4) Pelihara kesengsaraan rakyat; (5) Pupuk terus diskriminasi, rasialisme cs.

Ketika kami pulang ke Jakarta, naik pesawat terbang dari Malang, badan capek dan kami bawa oleh-oleh tas kulit imitasi. Namun riset dapat banyak hasil. Sayang, tak ada foto-foto karena kamera dicuri. Setibanya di Jakarta, kami terhadang kemacetan besar karena demonstrasi Hari Buruh atau May Day. Namun pentingnya, kami kembali ke Jakarta dengan relasi yang jauh berbeda. Kami berjanji belajar mengenal diri kami dengan lebih baik. Kami ingin menata kehidupan ini dengan jalan bersama.

Mulanya apa yang menarik?

ANDREAS: Setelah kenalan di Pontianak, Sapariah datang ke Jakarta mengikuti kursus jurnalisme sastrawi di Yayasan Pantau. Janet Steele dari George Washington University dan saya mengajar kursus ini tiap semester. Kami rutin mengundang wartawan daerah, kelompok minoritas dan perempuan, untuk ikut kursus ini. Sapariah wartawati Madura di Pontianak. Dia memenuhi syarat kedaerahan, minoritas dan perempuan.

Sapariah mulai jadi istimewa ketika beberapa bulan kemudian ia mengirim kaos dengan pesan, "Dasar negara Indopahit.” Saya pikir orang ini kritis sekali. Isinya, lima dasar negara Indopahit itu. Secara intelektual, saya kira ia mengerti kegelisahan saya. Hubungan kami enak.

SAPARIAH: Pertama kali kenal, yang ada dalam pikiranku orangnya asik. Asik diajak ngobrol, diskusi. Terus pintar dan cerdas. Aura pintarnya tuh kelihatan. Terus selera humornya tinggi (dia sebenarnya orang serius). Jadi, seakan tiada hari tanpa bergurau, meskipun lagi ga ada duit … ha ha ha.

Aku juga suka gaya dan mimik mukanya, yang kadang dibuat aneh-aneh (apalagi kalau aku lagi sebel). Yang membuat dia berbeda dari yang lain adalah pemikirannya. ”Ini orang gila dan aneh.” Kami nyambung dalam banyak hal, dari ngerjain orang sampai ide negara Indopahit. Tak lupa saling menghina dan mentertawai diri sendiri.

Kapan jadi pacar?

ANDREAS: Ketika jalan bersama ke Blitar, saya bilang bagaimana kalau kita mencoba mengenal lebih jauh? Tapi saya ingin hubungan ini direstui keluarga Sapariah. Jadi, bulan Juli saya dikenalkan dengan Mamak dan Tursih, adiknya Sapariah, yang lagi liburan di Jakarta. Mamak merestui. Maka kami pun resmi pacaran.

SAPARIAH: Ya, jadian awalnya sih May Day itu. Lainnya … idem he he he .…

Kesan pacaran bagaimana?

SAPARIAH: Aku merasa cocok. Mas, orangnya peduli dan perhatian. Bukan hanya dengan orang-orang terdekatnya, tapi semua orang, terutama kalangan tertindas. Jadi aku merasa enak dan aman. Mas itu orang yang punya prinsip, bekerja dengan jujur dan benar. Maka tak heran kalau setiap saat aku selalu mendengar ocehan dan kekesalannya terhadap carut marut negara dan pelaksananya.

Mas, bisa memahami aku, meski dengan hinaan-hinaannya tentu. ”Hinaan” itu password bagi kami untuk saling meledek. Dalam hubungan kami, tabu dengan kata ngambek kalau dihina.

Pernah, satu kali kami sedang ngobrol dengan Mbak Uun (Nurul Hayat) dan suaminya (Muhlis Suhaeri), di Restoran Cita Rasa, Pontianak. Saat itu, kami membicarakan film produksi sineas perempuan seperti Lola Amaria dengan Betina.

Muhlis, yang kenalan Lola Amaria, tanya bagaimana tanggapan masyarakat terhadap film Betina. Aku jawab saja cukup bagus. Ia diulas media termasuk tempatku bekerja Jurnal Perempuan (halaman perempuan harian Jurnal Nasional).

Tiba-tiba, Mbak Uun, berkata,” Mbak Un langganan Jurnal Perempuan, kok ga ada?” Maksudnya, Mbak Uun mengacu pada sebuah jurnal ilmiah, suntingan pemikir feminisme Gadis Arivia, yang terbit di Jakarta. Isinya berat soal feminisme. Nama sama tapi mereka dua media berbeda.

Ternyata ada mahluk yang ga pernah menyia-nyiakan untuk ngerjai aku. Langsung Mas Andre nyeletuk, ”Jurnal perempuan yang serius atau yang tidak serius?”

Aku tanya, ”Maksudnya apa? Mana yang serius dan mana yang tidak?”

Langsung deh aku kesel. Enak aja, Jurnal Perempuan yang aku pegang (sebagai redaktur) dibilang ga serius. Aku ngambek. Kami pulang. Di dalam mobil aku masih ngambek.

Lalu Mas bilang, ”Sejak kapan kita ga boleh saling menghina?” Dia tertawa ngakak, tanpa rasa bersalah. Oh iya ya, kita kan emang suka saling hina, aku pun ikutan ngakak.

ANDREAS: Saya mengagumi Sapariah karena perjuangannya untuk selalu jalan di jalan yang benar. Suatu saat kami butuh uang guna membayar persiapan pernikahan. Ada tawaran kerja singkat sebagai private investigator untuk suatu konglomerat. Mereka minta saya menyelidiki seorang lawan bisnis mereka. Cara kerjanya sama dengan jurnalisme: riset, wawancara, analisis dan menulis. Belakangan saya ketahui jumlah uang yang hendak mereka bayarkan dalam transaksi tersebut mendekati US$1 milyar.

Namun dalam jurnalisme, seorang wartawan harus transparan tentang metode dan motivasinya dalam bekerja. Intinya, wartawan harus jujur. Padahal konglomerat ini ingin namanya dirahasiakan. Bagaimana cara reporter wawancara tanpa menyebutkan keperluan wawancara itu? Bukankah kami tak boleh bohong? Wartawan juga melayani kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan bisnis.

Sapariah minta saya menolak tawaran itu walau kami lagi butuh uang. Katanya, lebih baik kita ”kaya hati” daripada ”berkat nila setitik rusak susu sebelanga.” Saya beruntung sekali mengenal orang dengan hati nurani macam ini.

Menurut Derek Walters dan Helen Jones dalam buku The Chinese Astrology, ada pepatah Mandarin berbunyi, ”Bila si Kelinci bertemu dengan si Ular, maka kebahagiaan abadi menanti mereka.” Sapariah shio Kelinci dan saya shio Ular. Kebetulan yang menarik bukan?

Bagaimana menilai keluarga pasangan?

ANDREAS: Saya pertama kali kenal dengan dua keponakan Sapariah: Delly Ariska Virgina Jannati (Keke) dan Lusinda Aprilia Arsy Islami (Dede). Mereka liburan di Jakarta dan Keke jatuh sakit. Sapariah sibuk bekerja, baru pindah ke perusahaan baru, sehingga tak bisa menjaga Keke. Saya menawarkan diri membantu. Keke menginap di apartemen saya.

Lantas Mamak dan Tursih juga datang ke Jakarta. Mereka juga liburan. Saya dikenalkan Sapariah kepada anggota-anggota keluarganya. Kesannya, menyenangkan, keluarga sederhana, terbuka. Saya terutama terkesan dengan kepribadian Mamak. Saya kira Sapariah beruntung memiliki ibu yang mengajarkan dirinya berbuat benar. Mamak suka nonton televisi kabel Animal Planet, dari gajah hingga ular, badak hingga ikan-ikan di laut. Saya biasa membuatkan kopi untuk beliau serta setel Animal Planet. Mamak memanggil saya, ”Jadul” –singkatan dari ”jaman dulu.”

Lalu saya pergi ke Pontianak, menginap di rumah Jl. HM Suwignyo. Mamak sering mengobrol berdua dengan saya di dapur belakang, pagi hari sambil Mamak bikin teh panas. Dapur ini menghadap kebun dan tempat pembakaran sampah. Sederhana. Saleh. Enteng. Suka bergurau. She doesn’t take herself too seriously.

SAPARIAH: Keluarga Mas yang pertama aku kenal Mbak Rebeka. Karena kenal saat aku liputan di Balai Kota Jakarta. Saat itu aku sama Mas berteman. Mbak Rebeka ketua Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia, kala itu mengadvokasi orang Cina Benteng. Lalu kenal dengan adik Mas yang lain, Heylen, bersama anaknya, Cho Yong Gie.

Juli 2006, Mama ke Jakarta dan kebetulan saat itu keponakanku, Dede dan Keke ke Jakarta. Keke sakit campak di apartemen Mas Andre. Wah aku khawatir sekali. Bingung. Aku dan Mas ga tahu penyakit itu. Bersyukur ada Mama. Mama tahu tentang penyakit campak ini sekaligus perawatannya. Ga kepikir deh kalau saat itu Mama ga datang. Mama baik sekali. Mama datang bersama saudara kembar Mbak Rebeka, Susanna. Asik, kami ngobrol bersama, belanja bersama. Saya senang bisa diterima keluarga Mas.

Hubungan dengan Norman Harsono?

ANDREAS: Norman anak saya dari perkawinan pada 1995. Saya bercerai dengan ibunya pada 2003. Saya dekat, mencintai dan menghormati Norman. Saya melibatkan Norman dalam proses pengambilan keputusan memilih Sapariah, walau saya yang memutuskannya. Norman menganggap Sapariah temannya. Kalau kebetulan Sapariah lama tak muncul, dia tanya kenapa Sapariah tak datang? Motivasinya, Norman ingin main saja. Kalau Sapariah muncul di pintu rumah kami, pertanyaan pertama yang muncul dari Norman, ”Fighting?” Maksudnya, main kelahi pakai bantal melawan papanya. Ketika hubungan kami hendak jadi serius, saya tanya-tanya dulu pada Norman. ”What do you think about Sapariah?” Norman bilang Sapariah orang baik. Dia bahkan mengadu pada Sapariah bila ada masalah.

SAPARIAH: Pertama aku khawatir. Aku takut hubunganku dengan Mas akan membuat Norman sedih. Tentu aku ga mau. Bersyukur, Norman anak baik dan pintar lagi. Dia merestui hubungan kami. Kami sering main bareng dari buat robot, pillow war, blindfold, pushing, petak umpet sampai basket. Aku selalu jadi satu tim ama Norman yang melawan papanya. Aku senang sekali.

Kalau marahan bagaimana?

SAPARIAH: Ngaku deh, kalau masalah ini aku yang suka kesel atau ngambek duluan. Misalnya diskusi aku kalah argumen, biasanya langsung kesel. Mungkin karena Mas lebih dewasa jadi sering mengingatkan aku. Biasanya sih kalau aku lagi sebel hanya karena masalah sepele, Mas mengatasinya dengan lucu-lucuan. Jadi marah dan kesal aku jadi ilang lalu ketawa-ketawa deh walau tadinya udah mau nangis.

ANDREAS: Saya punya kebiasaan jelek. Kalau saya kesal terhadap sesuatu, saya cenderung jadi cerewet, menunjukkan kesalahan tersebut dengan detail dan diulang-ulang. Biasanya Norman, kalau sudah begitu, menutup telinganya atau menutup mulut saya. Sapariah sama saja. Saya menggantinya dengan lelucon, menjadikan kesalahan itu sebagai humor.

Bagaimana dengan anak? Jumlah? Pendidikan?

SAPARIAH: Semua kan mesti ada rencana. Kami kan sudah punya satu anak, jadi tinggal tambah satu lagi deh. Kalau bisa sih cewek, biar lengkap. Untuk sekolah, sama dengan Mas. Kami sepakat pendidikan itu penting dan nomor satu. Jadi kami akan berusaha menyekolahkan anak kami di sekolah yang berkualitas. Itu untuk masa depan mereka juga.

ANDREAS: Saya tahu negara Indopahit ini tak mau dan tak mampu menyediakan pendidikan bermutu untuk warganya. Mutu sekolah Indonesia rendah. Beda dengan Srilanka atau India dimana sekolah dan buku terjangkau serta bermutu. Akibatnya, saya mengirim Norman ke sekolah internasional di Jakarta. Bahasa pengantar bahasa Inggris. Kebetulan ketika masih kecil, Norman sekolah di Cambridge, ketika saya di Harvard. Bahasa Inggris adalah bahasa pertama Norman

Kalau Norman punya adik, tentu saja, si adik juga akan sekolah internasional. Saya ingin anak kami menggunakan bahasa Inggris. Saya ingin anak kami mengetahui budaya asal orang tuanya. Si adik harus punya kesempatan belajar bahasa Madura dan bahasa Mandarin.

Bagaimana dengan karir masing-masing?

SAPARIAH: Aku tetap bekerja sebagai wartawan. Mas juga. Jadi kami bebas meniti karir masing-masing. Aku masih ingin menempuh pendidikan lebih tinggi.

ANDREAS: Saya lagi menyelesaikan buku, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Saya harap buku ini selesai tahun 2007. Sesudahnya, saya akan terus bekerja meningkatkan mutu jurnalisme berbahasa Melayu lewat Yayasan Pantau serta memberi kuliah. Kini saya pengajar tak tetap di Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia dan Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Mungkin sekali dua, perlu sabbatical break, belajar dan mengajar di kampus luar negeri.

Kelak bila sudah tua, saya ingin belajar jadi guru, tempat orang muda bertanya. Ini untuk membalas kebaikan para mentor saya. Dulu saya beruntung punya mentor-mentor macam Arief Budiman dan George Junus Aditjondro dari Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga, Jawa), Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi (Jakarta) dan Bill Kovach dari Universitas Harvard (Cambridge, Amerika Serikat). Mereka melatih saya berpikir kritis, menggunakan kata-kata untuk meningkatkan mutu masyarakat dalam mengambil keputusan. Mereka mengajari saya mencintai jurnalisme. Saya ingin bisa hidup lurus, jujur dan setia pada jurnalisme.

Pembagian kerja secara seksual?

ANDREAS: Arief Budiman menulis dalam buku Pembagian Kerja Secara Seksual bahwa pekerjaan nature (alamiah) perempuan adalah melahirkan dan menyusui anak. Laki-laki khan tak bisa beranak dan meneteki? Namun secara nurture (buatan), dalam masyarakat muncul kebiasaan bahwa perempuan pula yang harus mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, bahkan juga suami dan orang tua. Laki-laki lalu dibuat bekerja di sektor publik. Perempuan di sektor domestik. Ini tak adil. Saya terbiasa memasak, membersihkan rumah, merawat anak, membantu pekerjaan rumah anak, mencuci piring dan seterusnya.

SAPARIAH: Bagi kami, sudah lewat anggapan-anggapan usang yang bias gender itu. Mas itu orangnya asik banget. Dia suka masak, beres-beres rumah. Channel televisi favoritnya aja Travel & Living. Katanya sih buat meningkatkan kemampuan memasak. Asik kan? Sampe-sampe biasa aku panggil dia,” Bu Andreas …”

Bagaimana dengan perbedaan?

SAPARIAH: Aku rasa ga masalah beda etnik. Di keluargaku sering terjadi perkawinan beda etnik. Kakak-kakakku menikah dengan Melayu, Bugis. Ponakan mendapat jodoh orang Cina juga. Kuncinya kan saling menghargai, toleransi. Memang tidak akan semudah mengucapkan. Tapi kami berdua berusaha keras untuk menghidupkan toleransi itu.

ANDREAS: Ini suatu kekayaan. Manusia berkembang bila ia memanfaatkan keragaman budaya demi peningkatan kemanusiaan. Saya biasa memandang orang sebagai individu, bukan identitas sosial, kecuali bila identitas itu dimanipulasikannya sebagai alat untuk menindas orang lain –saya justru akan melawannya. Saya ingin belajar budaya imigran Madura di Borneo.

Kapan memutuskan menikah?

ANDREAS: Ketika Mamak setuju hubungan kami, Mamak mengatakan, ”Makin cepat makin baik.” Saya kira kepercayaan dan restu dari orang tua harus dilaksanakan dengan baik. Saya segera memberitahu Papa dan Mama di Jawa. Papa mengundang Sapariah datang ke Jember. Mama tanya sana-sini lalu memutuskan membuatkan baju pengantin untuk calon menantunya. Mama menjahit sendiri, memasang payet dan sebagainya.

SAPARIAH: Ya, setelah Mamak merestui kami, aku menjadi yakin Mas pilihanku. Kedua keluarga merestui, kami sudah cocok. Lanjut deh menikah.

Siapa yang mengatur uang?

SAPARIAH: Mas kan orangnya boros tuh. Aku juga ha ha ha. Gini, masalah keuangan ini akan kami bicarakan mana baiknya bagi keluarga kami. Kompromi dulu.

ANDREAS: Kami berdua wartawan yang mencoba bekerja dengan jujur. Penghasilannya, ya pas-pasan. Indopahit khan termasuk negara yang menggaji wartawan paling rendah di Asia? Di sisi lain, biaya pendidikan anak sangat mahal. Jadinya, memang serba repot.

Bantuan untuk keluarga?

SAPARIAH: Namanya juga keluarga ya. Kalau kami memang ada uang dan mampu untuk membantu tentu kami akan membantu. Jangankan keluarga kan, orang lain saja kita harus saling bantu.

ANDREAS: Prinsipnya, kami harus adil dalam membantu keluarga besar kami berdua. Keadilan memang sulit diukur. Praktisnya, kami bisa mengukur waktu dan uang yang disediakan kepada keluarga besar. Dua elemen itu bisa diukur. Dalam perkawinan tentu tak semua bisa berjalan fifty-fifty (separuh-separuh). Terkadang kita memberi, terkadang kita menerima.

Apa sikap yang membuat kesal?

SAPARIAH: Ngupil ama garuk-garuk, nyabutin alis dan bulu ketek. Terus, rencananya yang sering banyak sekali. Kan kesel kalau akhirnya ditunda atau ga jadi.

ANDREAS: Sapariah bila kesal, ia lantas menganggap saya manusia setengah dewa yang bisa meramal sumber kekesalannya. Tapi baiknya, Sapariah orang yang menjaga kata-katanya bila sedang marah. Ia memilih diam daripada mengeluarkan kata-kata.

Harapan setelah menjadi pasangan?

SAPARIAH: Tentu langgeng selamanya ya. Saling sayang, cinta, setia dan memahami. Aku mau, kami berdua tidak berubah. Ya, tetap bergurau, saling ledek, saling ’hina’.

ANDREAS: Suatu saat, saya akan meninggal, mungkin sakit-sakitan dulu, mungkin juga mendadak mati. Namun bila saatnya tiba, saya ingin dikenang oleh anak kami, keluarga dan teman-teman kami sebagai suami yang setia mendampingi dan mencintai isterinya. Saya ingin kami berdua –meminjam syair The Alan Parsons Project—bersama-sama menjadi, ”old and wise.” Bersama-sama menjadi tua, bersama-sama menjadi bijak. Alan Parsons cerita tentang bagaimana sepasang cinta menghadapi terpaan hidup bersama-sama.


Foto-foto diciptakan oleh Mohamad Iqbal

6 comments:

Anonymous said...

heheh..
saling mewawancarai(?) :P

John A. MacDougall said...

Cerita cinta yang sangat mengharukan ... Ucapan selamat kepada Sapariah dan Andreas dari Sock Foon dan saya -- secara virtual. -- John

john.a.macdougall@gmail.com

Pahrian Siregar said...

Piah dan Mas Andreas selamat...
Semoga pernikahannya kekal yah..

Anonymous said...

jadi terinspirasi...

Ahmad Sahidah said...

Selamat Mas? Semoga old dan wise. Amin.

jpc said...

Saya baru kenal sm mas andreas n mba ria tp sy liat sendiri klo kalian tu pasangan yg asik n influenced me alot hehe wish u getting old n wise together ...ian...