Wednesday, March 28, 2007

Dua Surat Terbuka


Surat Terbuka untuk AJI Indonesia

Salam,

Aku Jarar Siahaan. Pada 2000-2003 anggota AJI Medan. Aku mengundurkan diri kemudian.

Aku cuma wartawan kampungan [tinggal dan meliput di kampung -- Balige -- kota kecil di tepi Danau Toba]. Ilmuku cuma sampai SMA. Tak pernah kuliah ilmu jurnalistik, ilmu politik, ilmu antah-berantah seperti banyak wartawan Jakarta pelajari. Tapi aku paham "ilmu kebatinan" -- sesuatu yang membuatku patuh pada batinku, patuh pada hati nuraniku.

Dari AJI aku belajar banyak hal; terutama bahwa wartawan harus independen. Dan dari kakekku aku belajar lebih hebat dari situ; bahwa apapun profesi kita, jangan pernah membohongi hati nurani. Abang dan kakak di AJI Indonesia pasti tahu; sudah terlalu banyak wartawan Indonesia yang tak malu membohongi batinnya sendiri.

Setelah 12 tahun bekerja di media cetak, antara lain redaktur di Grup Jawa Pos di Medan, kini aku "bertobat". Aku muak melihat pers daerah; hampir semua tukang bohong.

Sejak 20 Maret lalu aku menjadi "pembantu" istriku mengurus jualannya di depan rumah kami; oli-campur becak dan voucher HP elektrik. Aku akan menghidupi kedua anakku dari berdagang. Aku tak mau lagi kehilangan anakku, seperti tujuh tahun lalu, atau mendengar lagi tuntutan cerai dari istriku gara-gara aku sibuk dengan idealisme -- sebab aku mematuhi kode etik AJI sepenuhnya. Jiwaku tetaplah jiwa wartawan; nafasku juga masih nafas AJI. Sebab itu kubuat blog berita independen BatakNews.

Aku menulis surat ini dengan maksud dua hal:

Kalau kawan-kawan AJI masih peduli bahwa wartawan harus independen, dukunglah aku. Bukan duitmu yang kuminta; bukan seminar-seminarmu atau proyek bukumu yang menghabiskan anggaran itu. Tapi beri aku dukungan moral, beri aku semangat. Cuma itu. Tapi jangan dukung aku kalau kau tidak tulus. Aku tak butuh basa-basi.

Jangan kalian "rusak" para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah "sikat" wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan.

Abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. Sebagian besar di bawah Rp 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. Juga banyak media nasional yang tak menggaji wartawannya di daerah dengan layak. Aku mau bertanya: begitu banyak anggota AJI di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? Oh Tuhan, alangkah kita -- kau dan aku -- sudah lama berbohong.

Pada tengah malam itu, 20 Maret dini hari, air mataku menetes di depan komputer; melihat semua tulisan yang akan segera kuungkap ke publik.

Salamku untuk semua anggota AJI; jangan bohongi nuranimu.

Jarar Siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut


Surat Terbuka untuk Wartawan/Blogger Indonesia

Blog bukan cuma media-tanpa-sensor; blog telah menjadi malaikat penolong dan tempat meneduhkan nurani bagi jurnalis yang masih punya rasa malu.

Media di Indonesia, terutama koran daerah, adalah mesin-uang bagi para bunglon, pemeras, politisi, dan pelacur idealisme.

Kurindukan suatu hari nanti, koran yang begitu akan mati; sebab mereka sering membunuh kebenaran. Kuimpikan detik ini, setiap warga akan menulis dan mengedit beritanya sendiri.

Blog adalah tempat di mana hati nurani bisa merdeka.

Salamku untuk semua wartawan Indonesia; jangan bohongi nuranimu.

Jarar Siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut

8 comments:

Anonymous said...

Membaca surat itu kesimpulan saya cuma satu. Yakni Siahaan wartawan bodoh. Hanya wartawan bodoh saja yang tak bisa kaya. Banyak wartawan cukup berbekal dengan kartu pers saja bisa dapat amplop rata-rata 500 ribu per hari, masak dia gak bisa. Makan tuh idealis, biar mampus

Siti Nurrofiqoh said...

Viva bung Siahaan. Teruskan perjuanganmu. Saya akan berusaha membantu apapun itu, meski jika saya berada di pihak Sihaaan kemungkinan besar akan terima amplop. Intinya hanya satu teruskan perjuangan. Viva

Batak Toba said...

untuk bung rusdiaras,
aku tidak kaget membaca ucapan anda, sebab kalimat seperti itu sudah sering diucapkan kepadaku oleh rekan-rekanku wartawan di sumut.

salam,
jarar siahaan

Batak Toba said...

untuk siti,
terima kasih yang tulus.

salam hangatku untukmu,
jarar siahaan di balige

Anonymous said...

mungkin ini cuma suara abang seorang, tapi percayalah, itu suara kami juga, yang bernasib sama, tapi tak bisa berbuat banyak.

Batak Toba said...

buat anda yang tanpa nama,
tetap aku bangga walaupun anda tak berani menunjukkan muka; sebab anda sudah mengakuinya.

buat bang andreas dan bang agus sopian,
beberapa menit lalu kukirimkan surat ke imel abang berdua. kupikir itu akan lebih bermanfaat bila dibaca banyak orang. terima kasih bang.

salam,
jarar siahaan di balige, sumut

Anonymous said...

Akhirnya, ada juga yang berani bicara begitu. Kami di Jember sebenarnya sudah menggagas ide:

JANGAN CUMA KAMPANYE KE WARTAWANNYA
KALAU BERANI TUH KAMPANYE KE MEDIA MASSA TEMPAT KALIAN SEMUA BEKERJA..

HASILNYA? Nol....Karena Kita tahu para wartawan elite di Jakarta sana sudah dapat duit besar dari gaji atau bisa ngobyek sana sini sehingga berani pasang stiker kampanye HIDUP SEHAT TANPA AMPLOP...

Terima kasih Jarar...kau telah berani mengatakan sesuatu yang tidak berani dikatakan orang lain... SALUT KAMI PADAMU...

KAMI DI JEMBER
ALIANSI JURNALIS IJENAN
NB: IJENAN ADALAH BAHASA JAWA MAKSUDNYA SENDIRIAN/LONELY/SOLITAIRE

Batak Toba said...

buat kawan-kawan di jember,

teruskanlah apa yang sudah sempat anda gagas di sana. napasnya sama dengan apa yang kuungkapkan lewat surat terbuka untuk aji itu. aku ingin menyebutnya sebagai "jurnalisme hati nurani".

kawan, aku sungguh tak habis pikir, kenapa wartawan tidak mau menuntut gajinya sendiri agar layak diberi oleh media. aku sempat berburuk sangka: jangan-jangan mereka justru sudah terlanjur menikmati enaknya amplop dan asyiknya "bermain dengan narasumber"; jangan-jangan mereka berpikir 'kalau nanti gaji sudah cukup dan dipecat begitu terima amplop, maka setiap berita yang kutulis haruslah jujur apa adanya -- padahal ini sungguh berat kulakukan karena aku sudah terbiasa mengarahkan berita dengan angle sesuai kepentinganku dan kepentingan sumberku'.

ah, mudah-mudahan akulah yang kelewatan sampai membayangkan seperti itu.

aku mengenal sejumlah nama yang sejak lama kuanggap sebagai panutan pers indonesia. tak usah kusebut nama mereka. antara lain mereka berada di lembaga-lembaga hebat seperti tempo, aji, unesco, dewan pers, media-watch, lsm, lembaga hukum, dan aktivis demokrasi-seniman-jurnalis media mentereng yang katanya sering berkumpul di utan kayu demi memikirkan bangsa ini.

engkau mungkin sudah tahu apa yang hendak kukatakan, kawan; bahwa mereka ternyata bukan orang-orang jujur. aku tak bilang mereka membohongi aku, kau, atau orang lain. tapi justru lebih berat dari situ: mereka telah membohongi dirinya sendiri, hati nuraninya sendiri.

kita lihatlah, mereka hanya mau menyibukkan diri dengan urusan-urusan tingkat tinggi. mereka hanya demo ketika ada wartawan dipecat atau dilecehkan; berkomentar soal kebijakan menteri dan urusan politik-ham-ekonomi global; berbalas pantun sesama mereka sendiri. mereka memang eksklusif. mereka dengan sadar membuat diri mereka istimewa dan "hanya untuk kalangan tertentu". dan tentu saja mereka tidak akan peduli dengan jarar yang cuma seorang bekas wartawan kampungan dan tamatan sma -- gelar s1, s2, dan s3 membuat mereka tak sadar bahwa di mataku mereka "bukan siapa-siapa". hanya TUHAN-lah "siapa-siapa" bagiku.

kawan, istriku pernah berkata padaku: "bukan otak yang membedakan kita dengan binatang ..., tapi karena kita manusia punya hati nurani." itulah kawan, kau dan aku masih punya nurani dan rasa malu. nurani, bukan kejeniusan membeberkan teori-teori dari buku-buku terjemahan yang tebal dan mahal.

karena nurani itulah aku nekat berhenti bekerja di media yang penuh kemunafikan dan perselingkuhan dengan narasumber. sebab itulah pula aku menolak tawaran jadi redaktur [aku juga pernah ditawari posisi redpel di sebuah koran lokal di sumut].

kawan,
dari semua orang yang kusebut di atas, aku akan membuat pengecualian bagi nama-nama ini: porman wilson [anggota senior aji medan, petinggi di salah satu koran terbesar medan], andreas harsono, budiman s hartoyo [mantan wartawan senior tempo dan salah satu deklarator aji], agus sopian, yati [seorang wartawan di kaltim], dominggus elcid li [wartawan di ntt], indra gunawan [bekas kawanku redaktur ketika di grup jawa pos dan kini di sindo edisi sumut], frans [seorang wartawan radio asing], dan mungkin dua-tiga nama lagi yang aku agak lupa. mereka ini, sama seperti anda, adalah wartawan yang masih punya hati nurani.

aku tak peduli apakah andreas harsono itu cerdas dan menguasai jurnalisme-sastra atau apakah frans itu bergaji besar; aku hanya peduli karena mereka masih mau berkata jujur.

kawan, aku cuma manusia biasa. aku sudah letih.

salam,
jarar siahaan; masih dalam kesendirian merenungi ke-taktahumalu-an.
www.batak.in