Thursday, October 25, 2007

Quo vadis jurnalisme Islami?


Dear Rudi Agung,

Terima kasih untuk Comment dalam blog saya. Anda mengatakan tertarik pada "jurnalisme Islam" --mungkin frasa yang lebih bisa dibenarkan secara linguistik adalah "jurnalisme Islami"-- dan mengacu pada Hamid Mowlana serta Majid Tehranian.

Saya kurang kenal dengan pikiran Mowlana namun pernah baca karya Tehranian. Tehranian kini jadi profesor international communication di University of Hawaii serta direktur Toda Institute for Global Peace and Policy Research. Dia juga pernah mengajar di Harvard. Hamid Mowlana, sama-sama etnik Persia atau Iran, kini profesor International Communication Program di American University, Washington DC.

Kalau bacaan saya tidak salah, Tehranian tidak bicara soal "jurnalisme Islami." Risetnya, lebih fokus pada masalah politik ekonomi internasional, komunikasi dan demokrasi. Areanya, Timur Tengah dan Asia Pacific.

Saya sendiri berpendapat tidak ada "jurnalisme Islami, atau setara dengan itu, juga tidak ada, "jurnalisme Kristiani," atau "jurnalisme Buddhist" atau kata sifat lainnya: Hindu, Yahudi, Sunda Wiwidan, Parmalin, Kaharingan, Khong Hu Chu dan masih banyak lagi. Ini belum lagi kalau kita mau bicara sekte atau aliran dalam suatu agama. Artinya, kita juga akan bicara soal "jurnalisme Protestan" atau "jurnalisme Katolik" maupun Shiah, Sunni dan seterusnya.

Agama dan jurnalisme berdiri pada ranah yang berbeda. Jurnalisme melayani publik dengan informasi yang benar agar mereka bisa mengatur dirinya sendiri dengan baik. Agama adalah seperangkat nilai untuk mengatur kehidupan seseorang maupun kehidupan bersama-sama dalam masyarakat. Ada unsur keimanan dalam agama. Jurnalisme hanya berdiri pada ranah fakta. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Esensi agama adalah iman. Saya kira agak janggal kalau dua ranah yang berbeda ini dijadikan dalam satu frasa.

Kalau demikian bagaimana menerangkan Al Jazeera? Apakah Reuters, Associated Press, Agence France Presse, CNN bukan media Kristen?

Disini kita bicara soal dua isu. Pertama, kita bicara soal audiens dari media bersangkutan. Kedua, kita bicara soal perspektif dari para pengelola media tersebut. Setiap media, bahkan setiap penulis, kebanyakan bekerja dengan khayalan tentang suatu audiens, yang mereka layani. Kebanyakan media di Jawa, tentu saja, berpikir dengan memasukkan unsur warga Muslim dalam khayalan tentang audiens itu. Di Kupang atau Jayapura, audiensnya dikhayalkan sebagai orang Kristen. Associated Press bikin laporan dengan khayalan soal audiens yang isinya warga Amerika, bisa bicara bahasa Inggris, pendidikan sekuler dan seterusnya.

Kedua, banyak juga media didirikan dengan tujuan agar perspektif soal tertentu ikut mewarnai editorial mereka. Al Jazeera misalnya, didirikan dengan perspektif tentang keragaman dan kekayaan dalam Islam.

Ketika Al Jazeera hendak didirikan, kebetulan saya bertemu dengan seorang calon pemimpinnya, seorang mantan wartawan BBC, ketika dia hendak bertemu dengan guru saya, Bill Kovach di Cambridge. Kovach mengatakan sangat penting bagi dunia --bukan hanya warga Muslim-- untuk memiliki sebuah televisi internasional yang mengerti dan dekat dengan Islam.

Kovach bicara soal dua CNN. Ini sebuah stasiun televisi yang berpusat di Atlanta. Kovach pernah tinggal lama di Atlanta. Pertama adalah CNN yang khusus dipancarkan di Amerika Serikat. Satunya lagi disebut CNN International, yang dipancarkan ke seluruh dunia. CNN International, menurut Kovach, jauh lebih bermutu daripada "CNN Nasional."

CNN International punya khayalan tentang audiens yang lebih beragam daripada CNN Nasional. Al Jazeera, kalau Anda perhatikan, juga dikerjakan oleh wartawan-wartawan yang background agamanya macam-macam. Banyak orang Kristen bekerja di Al Jazeera. Namun juga banyak warga Muslim. BBC juga memperkerjakan wartawan dengan background berasal dari berbagai macam agama.

Keragaman dalam ruang redaksi adalah suatu kekayaan. Ini akan membuat ruang redaksi lebih mampu memahami situasi dunia, yang memang beragam. Makin beragam suatu ruang redaksi, secara agama, etnik, kewarganegaraan, orientasi seksual dan sebagainya, maka makin kaya pula ruang redaksi bersangkutan.

Perspektif, audiens dan keragaman inilah yang sering kurang dimengerti orang. Kalau agama dijadikan label baru untuk jurnalisme, saya kira, jurnalisme bakal membingungkan orang. Saya kok jadi ingin tahu siapa "pakar nasional" yang memberitahu Anda soal "jurnalisme Islam" itu. Terima kasih.

Related Stories

Jawaban Kedua untuk Rudi Agung

1 comment:

ikram (qra) said...

mas, ini bukan untuk tanggapan. Tetapi lebih tepatnya pertanyaan saya kepada Anda. Begini, saya wartawan kriminal di Balikpapan. Hmmm, begini, terkadang untuk satu berita, kita harus menunggu polisi menyelesaikan penyelidikan. Polisi pun terkadang tak mau memberikan data kalau penyelidikan dianggap belum selesai. Misal, ada tersangka curanmor yang tertangkap, tetapi, polisi masih ingin mengejar satu temannya lagi. Nah, kadang-kadang pencarian temannya itu memakan waktu 1 minggu bahkan lebih. Tentunya, berita itu sudah sangat basi sekali. Waktunya penangkapannya yang sudah lama, bikin kita malas menulisnya. Gimana menurut mas, apakah dengan masalah seperti itu kita sudah boleh untuk mencuri data. Memberitakan tanpa konfirmasi akibatnya fatal. Gimana?