Thursday, February 21, 2008

Bagaimana Meliput Pontianak?


Ratusan pendukung Barisan Melayu Bersatu datang ke Rumah Adat Melayu di Pontianak pada 20 Februari 2008. Mereka minta pemerintah melarang warga Tionghoa menggunakan bahasa Hakka atau Tio Ciu. Mereka juga menuntut pemerintah melarang perayaan Imlek dengan barongsai dan naga. Mereka minta semua aksara Mandarin dilarang di tempat-tempat umum.

-- Photo by Lukas B. Wijanarko. All rights reserved.


Sejak Januari lalu, ketika Barisan Umat Islam datang ke DPRD Kalimantan Barat dan minta Majelis Adat & Budaya Tionghoa dibubarkan, hingga demo kemarin dengan Barisan Melayu Bersatu minta kebudayaan Tionghoa dilarang dan orang Tionghoa dilarang berbahasa etnik, saya sering ditanya bagaimana harus meliput ini?

Beberapa rekan wartawan di Pontianak --dari etnik Dayak, Madura, Melayu maupun Tionghoa-- bilang kalau hanya diliput apa adanya, kesannya malah makin bringas. Banyak yang memutuskan tidak dimuat. Media Jakarta hampir semuanya tak memuat ketegangan ini. Ada televisi sudah punya gambar namun editornya bilang, kalau dimuat, nanti rasialisme anti-Cina makin luas di Indonesia.

Alamak! Bagaimana pula awak ini?

Tapi begini deh. Kalau mau meliput Pontianak dengan baik, minimal si wartawan harus mengerti sejarah daerah itu. Ada beberapa karya bagus. Misalnya, karya Jamie Davidson dan Douglas Kammen, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan.” Davidson juga menulis thesis Ph.D yang bakal jadi karya klasik berjudul, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia.

Mereka intinya mengatakan daerah ini merupakan kancah pertikaian etnik. Mulanya, sejak Orde Baru berkuasa, orang-orang pedalaman merasa disisihkan dengan program transmigrasi dan bisnis penebangan hutan. Mereka melihat para transmigran dibantu. Mereka melihat para pengusaha tebang hutan. Mereka sendiri dimiskinkan.

Sejak 1980an, orang-orang ini membentuk identitas. Namanya, diambil dari nama lama, Daya atau Dayak. Ada macam-macam organisasi dan program dibuat. Mereka bikin credit union, lembaga adat, media dan lainnya. Makin lama makin santer hingga mereka mau jabatan-jabatan publik dengan identitas etnik. Gubernur, bupati, walikota, rektor, dekan, camat dan sebagainya.

Revitalisasi Dayak ini memancing orang pesisiran membentuk identitas Melayu dengan payung Majelis Adat & Budaya Melayu (MABM). Isi masing-masing kelompok sebenarnya beragam. Bahasanya, untuk payung Dayak: Kenayan, Iban dan lain-lain. Untuk Melayu, bahasanya Melayu, Jawa, Bugis, Sambas dan sebagainya. Ini juga tumpang tindih dengan agama. Orang Melayu dianggap beragama Islam. Hanya Muslim Madura tak dianggap Melayu. MABM segera jadi saingan Dewan Adat Dayak. Belakangan muncul Majelis Adat & Budaya Tionghoa. Saya pribadi merasa aneh. Politik harusnya berbasis partai. Tapi di Pontianak, partai menjadi kendaraan organisasi etnik.

Akademisi lain, yang bekerja independen, misalnya Mary Somers Heidhues dan J.A.C. Mackie. Heidhues menulis soal pengaruh kebudayaan Tionghoa di Pontianak, Singkawang, Ketapang dan lain-lain. Mackie menulis soal pembunuhan 1967. Ada juga wartawan yang sudah menulis pembantaian 3,500 orang Tionghoa 1967 (David Jenkins) dan 4,100 orang Madura 1997 dan 1999 (Richard Lloyd Parry).

Background ini penting buat meliput isu politik. Ia akan membuat si wartawan mengerti sejarah dan mampu memberikan konteks. Tanpa memberikan konteks maka liputan wartawan sering mengambang tak tentu arah. Buntutnya, pengalaman menunjukkan rasialisme anti-Cina dan anti-Madura makin parah. Pembunuhan makin menyebar. Orang-orang terjebak pada identitas etnik atau agama.

Saya pernah bikin penelitian di Pemangkat, Sambas, Mempawah, Jawai, Bengkayang, Singkawang, Roban dan sebagainya. Saya ngeri kalau lihat tempat-tempat dimana mayat tanpa kepala dikubur. Ini nanti akan muncul dalam buku saya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Saya pesimis masalah di Pontianak ini bisa berakhir dengan damai. Sejajar dengan Pontianak, saya pesimis masalah di Aceh, Papua, Maluku maupun Jawa bisa damai. Selama tak ada pengadilan terhadap kejahatan masa lampau, orang takkan belajar dari sejarah dan para preman takkan takut untuk melakukan premanisme. Kasarnya, kalau Soeharto tak dibuktikan melakukan kejahatan melawan kemanusiaan, maka suharto-suharto lain akan tetap muncul. Saya mencium bau amis selama dua tahun terakhir ini di Pontianak.

Tapi media minimal perlu membantu masyarakat mendapat informasi yang selengkap-lengkapnya agar bisa mengambil sikap, agar tahu keragaman. Keragaman ini membantu orang hidup lebih toleran.

Sudutnya?

Demonstrasi dimuat namun berikan konteks. Beritakan selengkap-lengkapnya. Walau foto atau gambarnya seram, saya tetap usul diberitakan. Kalau sudah berdarah, saya kira tak perlu menggambarkan mayat dengan tak senonoh. Tapi saya usul semua diberitakan.

Namun berikan proporsi. Demo kemarin relatif kecil --namun akan membesar. Interviewlah orang-orang Melayu lain. Banyak orang Melayu tak setuju dengan rasialisme dan fasisme dari Barisan Melayu Bersatu. Coba telusuri siapa yang memimpin rapat-rapat? Siapa yang bikin statemen? Beberapa wartawan Melayu kasih tahu saya bahwa Barisan Melayu Bersatu maupun Barisan Umat Islam, isinya mah preman-preman. Benarkah?

Berikan konteks pemilihan gubernur Cornelis, orang Dayak, dan wakilnya, Christiandy Sanjaya, yang Tionghoa. Cornelis memainkan kartu Dayak saat kampanye. Dia menang. Keduanya kebetulan beragama Kristen. Wah rame tuh di Pontianak! Bayangkan gubernur dan wakil sama-sama Kristen. Nah, berikan konteks dimana ada tiga calon gubernur Melayu --Akil Muchtar, Osman Sapta Odang, Usman Jaffar. Dalam dunia politik tradisional macam Pontianak, dimana etnik dan agama penting, karena "suara Melayu" pecah, maka Cornelis menang.

Berikan tempat untuk orang-orang kecil. Pasti ada yang setuju, ada yang tak setuju. Jangan, sekali-sekali, jangan melakukan interview terhadap apa yang disebut "pakar" atau "pengamat." Di Pontianak, praktis semua orang bermain dalam politik identitas. Kalau mau interview pakar, saya usul hubungi Jamie Davidson atau Gerry van Klinken. Dua orang ini sudah meliput Kalimantan Barat habis-habisan. Mereka bikin buku serius yang terbit secara internasional.

Last but not the least, saya biasa berpegang pada sembilan elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Wartawan harus memberitakan kebenaran. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Wartawan harus independen dari sumber-sumbernya. Dengarkan hati nurani. Loyalitas wartawan kepada warga --bukan kepada pemasang iklan, patron politik, perusahaan dan sejenisnya. Saya juga ingin media memasukkan satu kalimat dalam berita Pontianak bahwa media bersangkutan tak setuju dengan rasialisme dan fasisme.

Ini praktek biasa dilakukan di Skandinavia. Bila ada telephone caller yang mengucapkan kebencian terhadap (biasanya) orang Islam, entah di Stockholm atau Oslo, maka hubungan telepon diputus sepihak oleh radio. Pihak radio, saat itu juga, menanggapi dengan bilang tidak setuju. Televisi pun selalu diimbangi dengan statemen host, "Kami tak setuju dengan rasialisme. Hak orang mana pun untuk memakai bahasa etnik mereka."

Saya kira hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya pesimis Pontianak bisa berakhir damai. Namun saya juga jahat kalau tak berusaha memberi tahu bahwa ada jalan yang lebih baik guna mengurangi kekerasan, syukur-syukur, bisa mencegahnya. Namun pada akhirnya, orang-orang waras di Pontianak yang harus berjuang melawan fasisme, rasialisme dan premanisme ini.


Ralat - 1 Maret 2008
Caption foto Lukas B. Wijanarko mulanya keliru, ketika saya tulis, protes Barisan Melayu Bersatu dilakukan di gedung DPRD Kalimantan Barat. Wijanarko menjepret adegan ini di Rumah Adat Melayu, sebuah gedung milik Majelis Adat & Budaya Melayu, Jl. Sutan Syahrir, Kotabaru, Pontianak.

18 comments:

ikram said...

Mas, Ross Howard bilang, "Having the skills to analyze conflict will enable a reporter to be a more effective professional journalist."

Kemampuan menganalisa konflik ini apakah ada kaitan dengan pengalaman/jam terbang?

andreasharsono said...

Dear Ikram,

Rahasianya, saya kira, pada pemahaman terhadap konflik. Setiap konflik ada sejarah panjang. Roberk Fisk meliput Irak dengan mengerti sejarah kesultanan Ottoman. Di Pontianak juga ada sejarah panjang kekerasan. Juga di Ternate, Jayapura, Ambon, Minahasa dan sebagainya.

Orang muda bisa saja memahami ini dengan membaca. Ada banyak buku bagus untuk memahami perang-perang etnik dan agama. Namun membaca takkan lengkap tanpa tahu lapangan. Mungkin ini yang Anda maksud "jam terbang"?

Saya tak tahu bagaimana menjawab Anda. Saya percaya anak muda, yang sudah membaca, punya tenaga lebih besar untuk turun ke lapangan. Namun wartawan berumur, yang juga sudah membaca, punya kebijaksanaan untuk menilai. Mungkin manfaatkan umur ini. Ketika muda, keluarkan tenaga buat meliput sebanyak mungkin perang. Ketika tua, tenaga sudah berkurang, buatlah liputan yang analisisnya tajam.

Jennie S. Bev said...

Saya rasa analisis dan "breaking the silence" dari pucuk2 atas patriarki yang disegani khalayak mungkin bisa membantu. Sayangnya hampir mustahil kita bisa mendapatkan opini mereka yang netral dan multikulturalis.

Jurnalis kawakan dan komentator mungkin bisa memberikan masukan berdasarkan pemahaman konflik dan komparasi dengan wilayah2 lain di dunia yang mempunyai kemiripan konflik. Saya akan coba cari materi2 tsb. Idealnya self-criticism dari mayoritas soal hambatan2 multikulturalisme di Indonesia. Namun ini kayaknya cuma wishful thinking dari saya saja.

Salam buat keluarga, Ko Andreas.

Jennie

Stanilawksy said...

Halo Mas Andreas!
Sepertinya ini sudah menjawab pertanyaan saya di milis pantau. Sebagai pembaca yang tidak mengikuti perkembangan (politik) di Pontianak, saya jujurnya tidak mendapat gambaran yang jelas mengenai sentimen anti Tionghoa di Pontianak dari berita Borneo Tribune yang diposting di milis pantau. Tapi dari posting ini, bahkan cukup dengan foto dan captionnya saja saya sudah bisa melihat adanya sentimen itu.

Stania Puspawardhani

famlie said...

Bung Andreas,

minta ijin mengutip 3 paragrap pertama untuk www.superkoran.info yang kemudian di link ke blog anda.

admin Superkoran

andreasharsono said...

Dear Jennie,

Thanks for the comment. I think it is quite difficult to find such persons in Pontianak. The ethnic politics is very deep.

andreasharsono said...

Silahkan kalau mau mengutip naskah ini. Borneo Tribune menerbitkannya di halaman satu mereka Jumat ini. Cuma mereka memberitahu ada beberapa bagian yang dihilangkan. Misalnya, kata "preman" tak dipakai karena mereka takut diserbu oleh preman-preman itu. Ini pengalaman nyata. Terima kasih.

Pandi said...

Sebenarnya di kalimantan semua ingin damai tetapi sepertinya percuma saja jika dilihat dalam lingkaran politik sepertinya saya setuju jika caranya adalah mewawancarai masyarakat. toh saya yakin sudah rahasia umum kebanyakan demonstrasi adalah proyek!

haryo98 said...

waduh, hati-hati memang meliput di ponti, bung.. dan, tidak semua harus menjadi berita, daripada memicu konflik...

_haryo

ikram said...

Terimakasih atas jawabannya Mas.

andreasharsono said...

Kawanku Aryo. Aku setuju dengan hati-hati meliput di Pontianak. Hati-hati, artinya meliputnya harus dengan benar. Karena kalau asal liput yang terjadi malah berita itu yang menyulut rasialisme dan mendukung serta menghidupkan rasialisme. Coba deh, ditilik lagi berita-berita di media lokal sana. Bisa dinilai sendiri beritanya. (Tuh aku cuplikkan dua berita dari Pontianak).

Menurut saya, jika berita rasialisme, seksis, sektarian tidak berani digeber dan mengatakan itu salah, saya rasa itu tidak benar. Diam, bukan berarti meredam masalah. Diam, tidak diliput itu menciptakan kumpulan bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak dan tak terkendali. Jika bisa bara api itu dipadamkan sejak belum jatuh korban, kenapa kita tidak coba berbuat.

Saya, mungkin salah satu wartawan di Pontianak (dulu) yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika perang Melayu-Madura. Saat perang Dayak-Madura saya masih kuliah. Secara, saya orang Madura, sebagai salah satu etnik yang 'dicuci' dari Kalbar.

Secara dulu, saya seorang wartawan baru yang mengerjakan berita sesuai perintah dan pos. Saya meliput dan melihat sendiri, ketika perkelahian etnik itu sempat muncul di Pontianak tahun 2000. Saya lihat korban-korban pembunuhan itu. Saya lihat razia orang Madura oleh Melayu. Saya dengar dan lihat, sang preman dan provokator tertawa bangga karena sudah banyak yang mati. Saya dengar dia cerita dan merasa sukses dengan aksinya ini. Sekarang pun iya, Kota Pontianak ada di tangan preman.

Saya melihat betapa ribuan orang menjadi pengungsi dan masa depan mereka tak menentu. Ini tidak boleh terjadi lagi. Media, wartawan harus bekerja dengan benar.

Dulu, waktu saya di harian Equator, bersama Asriyadi Alex alias Mering(etnis Dayak, sorry Mering aku lupa sub etniknya) ingin menggagas satu buku. Kami ingin coba , mengikis sikap-sikap rasialisme melalui satu produk buku. Sayang ya Mering impian kita belum tercapai. Saya keburu pindah Jakarta. Jika di media harian kami sulit bergerak, sulit berekspresi. Kami berdua ingin mewujudkan lewat media lain.


Kini, ada lagi muncul masalah rasisme anti Tionghoa. Wah, jika didiamkan, dianggap angin lalu, coba untuk disimpan rapat-rapat, saya kira tak akan menyelesaikan masalah. Memori pembunuhan-pembunuhan yang saya lihat dan saya baca dan dengar pun kembali bernyanyi. Sungguh menakutkan. Bisakah kita andil menghentikan ini?

Di bawah saya ambilkan dua berita dari media lokal Pontianak yang terbit, terkait rentetan masalah rasialisme belakangan ini di Pontianak.


-------


Ormas Melayu Dukung SK Wali Kota

Surat Keputusan (SK) Wali Kota Pontianak Nomor 127 Tahun 2008 mengenai larangan arak-arakan naga dan barongsai di wilayah Kota Pontianak mendapat dukungan penuh ormas Melayu Kota Pontianak. Sejumlah tokoh Melayu menggelar pertemuan, Selasa (12/2) di gedung Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Bangka Belitung Pontianak Selatan.

Pertemuan yang dihadiri sekitar seratus orang itu juga membahas pernyataan rencana gugatan pihak-pihak yang tidak puas dengan diterbitkannya SK 127 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak. Hadir juga dalam
pertemuan tersebut sejumlah tokoh Melayu di antaranya Syarif Hasan Basri Alqadri, H Syafrudin dari MABM Kota Pontianak, Gusti Suryadharma, Erwan Irawan, Abbas Fadhilah dan sejumlah tokoh Melayu lainnya.

Saat awal pertemuan, Gusti Suryadharma mengatakan ada beberapa hal yang
perlu disikapi dalam mencari jalan penyelesaian dari pertemuan tersebut yakni siapa yang akan menyikapi, apa tindak lanjut yang harus dilakukan
dan alasan dukungan terhadap SK tersebut.

Sempat terjadi pembicaraan panjang, namun kemudian didapat kata sepakat
untuk membuat pernyataan sikap atas nama Barisan Melayu Bersatu Kota Pontianak. Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Erwan Irawan itu disebutkan pada poin pertama bahwa masyarakat Kota Pontianak sepenuhnya
mendukung SK Wali Kota Pontianak Nomor 127 Tahun 2008, serta siap mengawal
SK tersebut sampai titik darah terakhir.

Poin kedua, meminta kepada Wali Kota Pontianak supaya tidak ada permainan naga dan barongsai di Kota Pontianak. Poin ketiga pernyataan itu meminta aparat hukum untuk menindak pihak yang akan menggugat Wali Kota yang
terindikasi memprovokasi keadaan Kamtibmas yang akan membuat situasi kota menjadi tidak kondusif.

Sedangkan poin ke empat meminta kepada pihak yang membuat pernyataan menggugat Wali Kota Pontianak untuk menarik pernyataannya. Poin terakhir, agar pernyataan sikap tersebut dapat ditindaklanjuti.

Usai merumuskan pernyataan, sejumlah tokoh kemudian bersepakat mendatangi Kantor Wali Kota Pontianak, Rabu (13/2) hari ini guna menyerahkan pernyataan sikap dukungan atas kebijakan wali kota tersebut. (her)


---------

Pontianak- Berbagai reaksi pun muncul dengan dipublikasikannya SK Wali Kota Pontianak Nomor 127/2008 tentang jual beli, pemasangan petasan dan pelaksanaan arakan naga, barongsai dalam Wilayah Kota Pontianak. Di antaranya datang dari Gerakan Melayu Bersatu Kota Pontianak yang melakukan rembuk di Kelurahan Bangka Belitung, pada Selasa malam (12/2).

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh para pemuda dan sesepuh Melayu Kota Pontianak menyatakan sikap mereka terhadap SK Walikota Pontianak nomor 127 tahun 2008. Sikap Gerakan Melayu Bersatu (GMB) Kota Pontianak yang dibacakan oleh ketua GMB Kota Pontianak Erwan Irawan. Isi tuntutan mereka adalah Pertama, mendukung SK Walikota Pontianak, dengan alasan bahwa SK
tersebut dikeluarkan berdasarkan hasil musyawarah Muspida Kota Pontianak.

Arakan naga dan barongsai yang menggunakan jalan raya dan fasilitas umum jelas merugikan aktivitas komunitas di luar etnis China. Kedua meminta aparat hukum dalam hal ini Kapoltabes Kota Pontianak memproses secara hukum, mereka yang menggugat SK Walikota, karena hal tersebut membuat kota Pontianak tidak kondusif.

Ketiga GMB meminta barongsai dan naga tidak main di Kota Pontianak, alasannya barongsai dan naga bukan merupakan bagian budaya Indonesia
walaupun dilakukan di tempat yang tertutup ? Kami akan memperjuangkan dan mengawal SK jangan sampai diganggu oleh pihak tertentu, dan masyarakat kota Pontianak Wajib mendukung SK Walikota tersebut? tegasnya yang diiyakan oleh seluruh masyarakat yang hadir.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil ketua DPD Persatuan Forum komunikasi Pemuda dan Melayu (PFKPM) Kota Pontianak Ir. RSM Bambang
Sancoyo,MT yang mendukung kebijakan pemerintah Kota Pontianak untuk mengatur arak-arakan naga dan barongsai agar tidak di jalan-jalan umum? Keputusan walikota tersebut sangat tepat dalam rangka mewujudkan ketertiban umum,sehingga tidak mengganggu lalu lintas? ujarnya.

Kebijakan ini tidak ada unsur diskriminasi. Sebagai generasi muda siap berada di garis depan dalam turut memelihara suasana kondusif di Kota Pontianak. Pemuda Melayu Kota Pontianak senantiasa menghargai budaya positif yang tentunya harus berada dalam koridor kesetaraan dan ketertiban kota. Dia mengatakan aktivitas budaya harus menyesuaikan kondisi masyarakat dan suasana kehidupan yang menjiwai budaya setempat. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung sehingga tercipta akulturasi budaya secara harmonis?tegasnya.

Pada saat ini, papar Bambang, di beberapa daerah seperti Jakarta, Situbondo, Sidoarjo, Jawa Tengah banyak-banyak warga yang mengalami musibah banjir dan tanah longsor. Sehingga sebagai bangsa yang patriotik dan tradisionalis hendaknya lebih mengedepankan sikap empati dan kesederhanaan. Dia mengatakan merayakan tahun baru, itu boleh saja bergembira, tetapi tidak diaktualisasikan secara vulgar dan demonstratif,
nilai-nilai kepekaan sosial harus lebih dikembangkan agar tidak malah terjadi kesenjangan sosial? Oleh karena itu mari kita
jaga Kota Pontianak menjadi tetap aman dan nyaman sebagai tempat hidup dan bekerja mengisi pembangunan bangsa,? himbaunya. (har)

andreasharsono said...

Waduh..nasib. Numpang laptop mas.......keterusan, lupa ganti pasword....So,yang muncul andreas harsono said, deh. Padahal, di atas itu tulisan saya, SAPARIAH. Sorry mas, aku lupa log out di lap topnya he he he....


Sapariah

Alumni CEFIL Angkatan XIX said...

Bung Andreas, saya Erix Hutasoit. Saat ini saya menjadi salah satu editor CEFIL 19 (www.cefil19.co.cc)

Saya minta izin men-copy tulisan ini untuk diposting kebeberapa milist.

Oh..iya. Saya sudah lama mendengar nama Bung Andreas.Saya pikir Anda adalah mutiara dalam dunia jurnalitsik Indonesia.

Saya juga kenal baik dengan Coen Husin Pontoh, Bung Stanley alias Joseph Adi Prosetyo dan J. Anto di Medan..

salam dari Nias,

Erix

andreasharsono said...

Dear Erix,

Silahkan untuk link ke web Anda. Tolong dibangunkan link ke blog saya juga ya. Ejaan nama Stanley yang benar adalah "Yosep Adi Prasetyo." Sedangkan "J. Anto" sebenarnya secara legal adalah "Janto." Dia punya nama pena, "Buntomi Wh." Kami bertiga dulu pernah kuliah sama-sama di UKSW. Saya yakin suatu saat kita akan bertemu. Terima kasih.

Rudi said...

terima kasih banyak atas sharingnya Bung Andreas. Kam sia... :)

Insaf Albert Tarigan said...

pak andreas, saya sekedar ingin berbagi cerita. Beberapa ahri lalu, kakak saya yang tinggal dan bekerja di jakarta mengatakan hal ini kepada saya. Dia saat ini sedang bekerja di sebuah kantor ankuntan publik, rekan sekerjanya banyak yang dari etnis Tionghoa dan mereka berteman baik. Singkat cerita, salah seroang dari teman kakak saya yang etnis Tionghoa itu pindah kerja ke tempat yang lain, sebuah rumah sakit di jakarta dengan penghasilan yang lebih besar. Lalu ia pindah lagi dan mendapat gaji lebih besar lagi. Terbesitlah keinginan kakak saya untuk mengikuti jejak temannya itu, yaitu bekerja di rumah sakit dimana temannya itu dulu pernah bekerja. Namun, ketika kakak saya bertanya apakah ada lowongan di rumah sakit itu, temannya menjawab, ada tapi mereka hanya menerima orang cina. Jadi saya ingin mengatkan bahwa kita semua juga harus waspada ternyata benih-benih rasialis itu tidak hanya di daerah tapi juga di sini, di Jakarta.

diriku adanya said...

haiii...nice to meet U...
pemahaman konflik menurut kacamata 'jurnalist'itu OK...
saya, bisa merasakan apa yang dirasakan andreas harsono,pastinya dilematis untuk mengungkap sejarah fakta yang ada bisa-bisa esok harinya mulut dibungkam dan meng-sesakan dada.(maaf bukan untuk menakut-nakuti...)coba di releksikan kembali jika ingin bersuara...Thx&Gbu...

Anonymous said...

Mas Andreas,

saya pikir dengan menyembunyikan informasi adalah kejahatan. Saya setuju bahwa berita seperti ini patut dipublikasikan dgn diberikan konteks.

Dan lagi, saya kira masyarakat kita sudah semakin pandai memilah informasi, serta mengambil sikap terhadapnya.