Tuesday, March 04, 2008

Retno Akhirnya Muncul di Pengadilan


Selasa pagi ini, sesudah menunda selama enam bulan, Retno Wardani akhirnya datang juga untuk menyelesaikan masalah pengasuhan anak kami, Norman Harsono, di pengadilan negeri Jakarta Selatan.

Retno didampingi kuasa hukum Desmayani Setianingsih dari kantor advokat Kailimang & Ponto. Aku didampingi pengacara Fredy Simanungkalit serta isteriku, Sapariah. Kami melakukan perundingan dengan moderator Suharto, seorang hakim, di pengadilan ini.

Suharto membuka perundingan ini dengan mengatakan apakah bisa dicari win-win solution. “Yang penting anak ini happy. Asal-usul itu tak bisa dihapus oleh manusia. Dia akan besar, akan tumbuh dewasa. Dia akan mencari orangtuanya,” kata Suharto.

Hakim ini puitis. Dia mengutip penyair kelahiran Lebanon Kahlil Gibran “Sang Nabi.” Dia tak mengutip penuh namun kira-kira berbunyi:

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh, bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.”


Kami lantas menerangkan kesepakatan pengasuhan Norman pada Desember 2003 dengan prinsip joint custody atau “pengasuhan bersama.” Kami membagi minggu sekolah, lima hari untuk Retno, dua hari untuk aku. Liburan sekolah, dibagi separuh-separuh. Liburan nasional dibuat giliran. Sedangkan rumah dan mobil disepakati dijual dan hasilnya dibagi dua.

Aku mengatakan perjanjian itu ternyata tak memenuhi harapan agar Norman bisa tumbuh dengan sehat. Aku ceritakan soal rumah, yang “dibeli” Retno dengan harga di bawah pasar. Retno beralasan rumah itu diperlukan Norman. Aku rela melepaskannya.

Namun pada Agustus 2007, tanpa berunding dengan Norman maupun aku, Retno menyewakan rumah Pondok Indah itu kepada orang lain serta memindahkan Norman ke rumah neneknya di Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah lebih dari 120 km pergi pulang. Retno kaku mengikuti perjanjian itu. Dia melakukan verbal abuse --atas nama “disiplin” anak—bila aku tak mengantar Norman ke tempatnya tepat waktu. Padahal Norman memang lebih suka tinggal di apartemen kami. Norman sendiri menulis surat kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dia menyatakan ingin tinggal dengan papanya. Retno bahkan pernah membawa polisi untuk menjemput Norman di apartemen.

Retno mengatakan dia membawa polisi ke apartemen aku untuk menjaga keamanannya. Dengan berlinang air mata, Retno bilang dia punya bukti-bukti aku pernah memukulnya di Cambridge. Polisi hanya untuk pengamanan. Bukan untuk menakut-nakuti Norman. “Andreas ditahan polisi. Saya yang bail out Andreas,” katanya. Dia mengatakan Norman lebih suka tinggal di apartemen karena "bebas" serta disiplin rendah.

Pemukulan terjadi delapan tahun silam. Aku sendiri menelepon polisi, ditahan semalam serta dihukum percobaan enam bulan. Ketika Retno membawa polisi ke apartemen Oktober lalu, dia sudah tahu Norman menolak pulang. Norman berkali-kali bilang tak mau ke Bintaro. Norman dan aku juga sama-sama tak ada di apartemen. Hanya ada Sapariah dan ibu mertua aku. Bagaimana aku bisa memukul Retno bila aku tak ada di tempat? Berapa puluh kali Retno datang ke apartemen untuk jemput Norman dan tak terjadi apa-apa? Sapariah bisa bersaksi bagaimana Retno teriak-teriak di rumah orang. Retno memanfaatkan polisi dan isu "pengamanan" guna melakukan intimidasi. Bukan sekali dua, Retno menggunakan kata "bawa polisi" bila Norman berlama-lama di apartemen.

Mediasi ini makin meruncing. Retno minta perjanjian joint custody tidak diubah. Hakim Suharto minta kedua pihak menyiapkan konsep penyelesaian masalah ini. Suharto mengatakan perkara perdata idealnya diselesaikan lewat "perdamaian" dengan kesepakatan kedua pihak. Mediasi akan dilanjutkan Selasa depan. Kalau tak bisa ditemukan "perdamaian" maka sidang permohonan dilanjutkan.

No comments: